Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lauk Ikan Asin dan Tuak yang Memabukkan Sudah Disebutkan Prasasti Abad ke-9

19 Februari 2017   13:44 Diperbarui: 19 Februari 2017   13:46 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksara Jawa Kuno sebagaimana sampul buku Prasasti Batu terbitan Museum Nasional, 2016 (Foto: Dokpri)

Dari adanya padi, beras, dan nasi tentu kita dapat menafsirkan bahwa bahan itu dimasak dengan cara ditanak. Sayang,  terhadap lauk pauknya tidak jelas disebutkan bagaimana cara memasaknya. Sejumlah prasasti (Taji, Panggumulan, Sangguran, Paradah, dan Rukam) hanya menginformasikan jenis-jenis hidangan secara umum, seperti ikan, udang, kepiting, dan kura-kura. Yang kentara adalah berjenis-jenis ikan diolah dengan cara diasinkan karena istilah asinasin dijumpai pada sejumlah prasasti. Mungkin identik dengan lauk ikan asin sekarang.

Selain itu juga dihidangkan kerbau, sapi, babi, kambing, kijang, ayam, dan itik. Kemungkinan salah satu bumbu dapur yang kerap digunakan adalah bawang, sebagaimana diberitakan Prasasti Kubu Kubu (905 M) dan berita Tiongkok dari masa dinasti Tang (618-907). Bahan-bahan makanan itu mungkin digoreng. Hal ini kita ketahui dari adanya istilah lnga (minyak) dan pedagang minyak pada prasasti, meskipun tidak disebut minyak apa yang dimaksud.

Jika saja cara pembuatan masakan-masakan itu tergambarkan lebih jelas, bukan tidak mungkin kekayaan kuliner Indonesia semakin banyak. Untuk itu tentu dibutuhkan berbagai keterampilan untuk mengorek informasi lebih mendalam.

Buah-buahan sebagai sumberdaya pangan juga sering disebutkan sumber-sumber kuno. Relief Mahakarmawibhangga di Candi Borobudur banyak mengungkapkan data itu. Dari hasil penelusuran arkeolog Eddi Sarwono (1985), disimpulkan buah-buahan yang ditampilkan adalah sukun, nangka, dan pisang. Sementara dari naskah kuno Ramayana dijumpai sukun dan  berita Tiongkok masa dinasti Song menyebutkan pisang dan talas.

Prasasti memang tidak menyebut sayur apa yang dimakan oleh masyarakat masa itu. Namun pada sebagian besar prasasti terdapat istilah kuluban dan dudutan, yakni semacam lalap-lalapan. Dengan demikian kita dapat menafsirkan bahwa sayur-sayuran mentah dan yang direbus banyak dikonsumsi masyarakat. Masakan tingkat paling sederhana itu masih dijumpai hingga sekarang.

Tuak

Petunjuk tentang minuman juga terdapat pada sejumlah prasasti dengan dijumpainya kata-kata twak, siddhu, dan cinca. Kata twak (tuak) sebagaimana yang masih dapat dikenali sampai sekarang, mengacu kepada minuman yang terbuat dari nira kelapa. Minuman itu dapat memabukkan seperti yang ditulis oleh berita Tiongkok masa dinasti Tang. Gambar pohon penghasil tuak banyak dilukiskan pada relief Candi Borobudur. Sementara itu, siddhu adalah sirup gula dan cinca adalah sirup yang terbuat dari asam jawa.

Pohon asam, menurut Prasasti Paradah (943 M), dulu banyak terdapat di Jawa. Kemungkinan, asam merupakan campuran rujak, kata yang masih bermakna sama dengan sekarang. Sayang, prasasti tidak menyebutkan buah-buahan apa saja yang menjadi bahan dasar pembuatan rujak itu.

Yang menarik, sejumlah nama buah-buahan tidak dijumpai datanya pada prasasti, namun penggambarannya ditemukan pada relief Candi Borobudur, antara lain jeruk, mangga, dan durian. Diperkirakan durian merupakan bahan dasar pembuatan dodol karena istilah dwadwal terdapat pada Prasasti Sangguran dan Paradah.

Sesungguhnya, sejarah kuliner Indonesia tidak lepas dari peran prasasti, naskah kuno, berita Tiongkok, dan relief candi. Banyak informasi masih tersembunyi di balik sumber-sumber itu. Kalau saja kita bisa mengungkapkannya lebih jauh, pasti warisan Nusantara itu menjadi kekayaan masyarakat masa kini.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun