Dunia numismatik Indonesia sangat beragam. Selain dikenal di tingkat nasional, benda numismatik Indonesia sudah merambah ke tingkat internasional. Memang sejak lama, yakni sebelum dunia numismatik berkembang di Nusantara, koleksi asal negara kita banyak dibawa kaum penjajah ke negara mereka. Salah satu koleksi yang menjadi pembicaraan serius di mancanegara adalah gobog wayang atau dalam bahasa kerennya Javanese magic coin.
Sir Thomas Stamford Raffles tercatat merupakan orang yang pertama kali menulis tentang koin gobog wayang dalam bukunya yang sangat populer, The History of Java (1817). Raffles banyak mendapat pengetahuan tentang sejarah dan kebudayaan Nusantara ketika dia menduduki jabatan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa (1811-1816). Setelah Jawa diserahkan kembali kepada Belanda, Raffles pulang ke Inggris. Selain penggemar seni, ternyata dia adalah seorang kolektor mata uang.
Saat pulang ke Inggris, dia membawa 106 koin gobog wayang dari Jawa. Koin sejenis bertambah lima buah berkat kiriman dari William Marsden, penulis History of Sumatra. Sampai sekarang koleksi koin-koin gobog wayang Raffles tersimpan di British Museum, London.
Setelah tulisan Raffles dalam The History of Java itu, bermunculan tulisan dan pendapat baru mengenai koin gobog wayang. Misalnya tulisan Baron S. de Chaudoir dalam buku yang diterbitkan di St. Petersburg (1842); lalu oleh W.R. van Hoevell, aktivis di Bataviaasch Genootschaapvan Kunsten en Wetenschappen pada jurnal tahunannya (1847); berikutnya Netscher & van der Chijs (1863); dan H.C. Millies seorang profesor dari Universitas Utrecht (1871). Terakhir adalah Joe Cribb, seorang kurator dari The British Museum dalam bukunya yang terbit pada 1999.
Religi
Gobog wayang rupanya lebih mengarah ke budaya dan religi masyarakat masa itu. Menurut Panji, seorang numismatis dari Yogyakarta, fungsi gobog adalah sebagai pelengkap dalam syarat atau sesaji upacara. Gobog melambangkan logam, juga uang. Dalam perkembangan selanjutnya, gobog menjadi uang kepeng pada acara Ngaben di Bali.
Meskipun dikenal sebagai uang, gobog tidak memiliki nominal. Hanya ada perlambangan atau cerita di dalam koin itu, mirip wayang geber. Pertama kali gobog dikenal pada masa Majapahit, kerajaan besar di Nusantara yang menganut agama Hindu. Majapahit mencapai puncak kekuasaan pada abad ke-12--15. Selepas masa itu, gobog-gobog wayang tetap diproduksi dengan ciri khasnya masing-masing. Umumnya berkaitan dengan kebudayaan dan masyarakat pada saat itu. Gobog wayang perunggu dengan tulisan mulai ada pada masa ajaran Islam menyebar di Nusantara.
Gobog wayang dengan bahan mengandung kuningan dan tembaga, dikenal pada abad ke-18. Gobog wayang yang paling muda berasal dari abad ke-19, dengan gambar Semar. Sampai saat ini gobog wayang masih dipercaya di Jawa Tengah sebagai media tolak bala atau jimat. Kadang dipasang di wuwungan, tiang utama atap rumah, atau di tanam di bawah Soko Guru rumah Joglo.
Walaupun telah beberapa kali dibahas panjang lebar dalam beberapa penerbitan, namun perdebatan mengenai koin wayang masih berlanjut. Persoalannya berkisar tentang 'what, where, when, who, why, and how'. Dalam arti bahwa sampai saat ini keberadaan dan kegunaan koin gobog wayang masih belum dapat terpecahkan sepenuhnya. Masing-masing orang mempunyai pendapat. “Namun dari semua pendapat, yang paling masuk akal dan dapat diterima adalah pendapat dari Prof. H.C.Millies dan Joe Cribb,” demikian Puji Harsono, seorang numismatis yang mengkhususkan pada koleksi koin, dalam salah satu tulisannya.
Dulu Raffles mendapat penjelasan perihal gobog wayang dari Kiai Adipati Demak (Sura Adimenggala, Bupati Semarang). Namun penjelasan sang Kiai bukanlah pendapat yang bersifat ilmiah. Dia hanya melihat gambar-gambar yang ada pada koin tersebut. Dari gambar itu akhirnya diartikan dan diketahui kapan koin-koin wayang tersebut dibuat.