Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Baru Pertama Kali, Disertasi Boechari Berupa Kumpulan Tulisan Terpilih

26 Desember 2016   16:02 Diperbarui: 27 Desember 2016   10:28 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disertasi Boechari yang dibukukan

Selain di UI, menurut Boechari, ketika itu di UGM pun sebenarnya ada seorang peminat epigrafi. Sayangnya, dia kuliah di dua tempat. Ketika lulus, si mahasiswi itu mendapat predikat cum laude. Namun dia lebih memilih mengajar di PTS ketimbang mendalami epigrafi.

Boechari mengatakan untuk menghasilkan peminat epigrafi, jurusan-jurusan arkeologi di Indonesia menetapkan Pengantar Epigrafi sebagai mata kuliah wajib. Ini sudah berjalan baik.

Beberapa tahun lalu Departemen Arkeologi UI pernah menyelenggarakan pendidikan S-2 bidang Epigrafi. Sayang kemudian salah satu lulusan yang potensial, Sri Ambarwati, tidak memperoleh tempat sebagai tenaga pengajar. Akhirnya dia berwiraswasta. Begitu juga dengan Vernika Hapri Witasari, lebih memilih bidang swasta.

Saat ini yang masih menggeluti epigrafi antara lain Ninie Susanti dan Andriyati Rahayu dari UI; Titi Surti Nastiti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional; Trigangga dan Fifia Wardhani dari Museum Nasional; I Gusti Ngurah Tara Wiguna dari Universitas Udayana; dan Tjahjono Prasodjo dari Universitas Gadjah Mada. Hasan Djafar dan Riboet Darmosutopo yang sudah pensiun, kadang-kadang dilibatkan dalam penelitian prasasti.

Teori

Selama hidupnya Boechari banyak melontarkan pendapat dan teori ke dunia ilmiah. Salah satu kerja kerasnya yang terkenal adalah pembacaan sebuah kata dari prasasti Kedukan Bukit. Disebutkan bahwa Dapunta Hyang datang di suatu tempat bernama ma.......Karena hurufnya sudah usang, maka muncullah berbagai tafsiran.

G. Coedes membacanya matayap. Menurut N.J. Krom adalah malayu, sementara Slametmuljana menganggap matadanau. Boechari dengan yakin mengatakannya mukha upang. Ternyata nama upang memang dijumpai di peta-peta kuno dan masih ada sebagai nama sebuah desa kecil di sebelah timur laut Palembang, di tepi sungai Upang.

Sebelumnya Boechari pernah mengemukakan teori tentang asal-usul wangsa Sailendra di Indonesia. Teori itu dimaksudkan untuk meruntuhkan teori-teori sarjana asing. R.C. Majumdar, sarjana India, menganggap wangsa Sailendra berasal dari Kalingga di India Selatan. Nilakanta Sastri, juga sarjana India, menduga dari Pandhya di India Selatan.

Prasasti Sojomerto (Sumber: Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)
Prasasti Sojomerto (Sumber: Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)
G. Coedes, sarjana Prancis, lebih condong berpendapat wangsa Sailendra berasal dari Funan atau Kamboja. J.L. Moens, sarjana Belanda, mendukung pendapat kedua sarjana India itu.

Namun berdasarkan prasasti Sojomerto, Boechari menyimpulkan bahwa wangsa Sailendra berasal dari Indonesia. Dasarnya adalah penyebutan nama Selendra yang jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sansekerta Sailendra.

Teori-teori yang dikemukakan Boechari sering menjadi acuan para sarjana. Kesungguhan Boechari untuk menekuni dunia epigrafi telah membuahkan banyak hasil. Yang menjadi pertanyaan mampukah generasi muda arkeologi berprestasi seperti Boechari?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun