Institusi kepolisian sering mendapat sorotan. Beberapa tahun lalu ada kasus ‘cicak’ dan ‘buaya’. Yang terbaru adalah masalah mantan penyidik KPK yang terkena Saber pungli.
Kalau saja Mahapatih Gajah Mada masih hidup, mungkin dia akan mengernyitkan dahi. Terlalu banyak persoalan pelik di negara ini yang menyangkut institusi kepolisian. Gajah Mada memang tidak bisa dilepaskan dari institusi kepolisian. Buktinya adalah di depan halaman Markas Besar Kepolisian RI didirikan Monumen Gajah Mada.
Monumen Gajah Mada diciptakan oleh Mikail Wowor dan diresmikan oleh Presiden Sukarno pada 1 Juli 1962. Sebagaimana kita tahu, setiap 1 Juli selalu diperingati sebagai Hari Bhayangkara atau Hari Kepolisian RI.
Gajah Mada dianggap tokoh panutan karena memiliki gagasan dan cita-cita tinggi untuk mempersatukan bangsa Indonesia lewat sumpah ‘Amukti Palapa’. Gajah Mada pun dipandang tokoh negarawan ulung. Dia banyak menurunkan pedoman kesatriaan bagi pejuang-pejuang bangsa.
Pada masa kebesaran Kerajaan Majapahit, Gajah Mada adalah pemimpin pasukan bhayangkari. Pasukan elit ini selalu mendasarkan tindakannya kepada Tribrata dan Catur Prasetya,yang kemudian diserap oleh institusi kepolisian kita.
Pasukan Bhayangkari adalah pengawal setia Kerajaan Majapahit. Nama bhayangkari inilah yang kemudian dipakai oleh korps kepolisian kita, hanya dengan sedikit perubahan menjadi bhayangkara.
Sebenarnya nama bhayangkari merupakan adaptasi dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Arti sesungguhnya adalah hebat atau mengerikan. Dulu tujuan pembentukan pasukan bhayangkari adalah untuk melindungi rakyat dan kerajaan. Karena sudah populer, nama ini kemudian identik dengan nama kesatuan pengawal kerajaan.
Peran pasukan bhayangkari mulai mencuat manakala Jayanegara (1309-1328) diangkat menjadi raja. Ketika itu hampir terjadi pemberontakan di lingkungan istana. Peristiwa tersebut diakibatkan oleh beberapa pengalasan wineh (pengawas yang diistimewakan) yang merasa tidak puas dengan penobatan Jayanegara. Oleh karena itu, sebagaimana pemberitaan dari naskah kuno Pararaton, mereka berkomplot untuk menggulingkan raja.
Sewaktu Jayanegara dinobatkan, patih amungkubhumi dijabat oleh Nambi. Sekonyong-konyong pada 1326 Mahapati mendekati dan “mengompori” Nambi. Dia bercerita bahwa sebenarnya Raja Jayanegara tidak suka kepadanya. Karena itu dia menasehati agar Nambi meminta cuti dan tinggal di Lumajang. Kebetulan ketika itu ayah Nambi meninggal, sehingga Jayanegara memberi izin.
Sebenarnya, ini merupakan taktik jahat Mahapati. Kepada raja, justru Mahapati mengatakan bahwa Nambi enggan kembali ke Majapahit. Bahkan Nambi telah merencanakan persiapan untuk memberontak, dibantu oleh pembesar-pembesar Majapahit yang pernah melayat ke sana.
Jayanegara yang percaya kepada cerita bohong Mahapati lalu mengirim pasukan ke Lumajang. Nambi berhasil dibunuh. Menurut Kidung Sorandaka sehabis perang Lumajang, Mahapati diangkat menjadi patih amangkubhumi menggantikan Nambi. Kitab Nagarakretagama dan Pararaton mencatat, Perang Lumajang itu berlangsung pada 1316.