Di mata ilmuwan, prasasti sering kali dianggap dokumen yang menginformasikan anugerah raja. Seperti halnya dokumen pada masa sekarang, zaman dulu prasasti juga dibuatkan salinan atau tembusan. Dokumen asli yang berupa prasasti batu, didirikan dekat tempat atau desa yang menerima anugerah raja. Sementara salinannya yang berupa prasasti logam atau prasasti lontar, disimpan oleh orang yang berkepentingan dan dalam keraton sebagai arsip.
Batu yang digunakan untuk memahat prasasti, kebanyakan batu andesit. Batu sungai ini tergolong tahan lama, sebagaimana tercermin dari bangunan-bangunan candi. Â Namun untuk wilayah geografis tertentu, prasasti terpahat dari batu kapur atau batu karang. Batuan jenis ini tergolong lebih lunak dibandingkan batu andesit. Prasasti yang aus diketahui memakai jenis batuan ini. Â Pada prasasti tersebut jelas adanya tanda-tanda aksara, namun karena fisiknya aus, aksaranya menjadi tidak terbaca.
Tidak dimungkiri selama perjalanan waktu ratusan tahun, banyak prasasti batu terkubur abu vulkanik gunung berapi, pasir, dan tanah. Maka dari itu banyak prasasti kuno ditemukan secara tidak disengaja, misalnya oleh petani ketika sedang mencangkul tanah di sawah, oleh tukang batu ketika sedang menggali pondasi rumah, dan oleh masyarakat awam lainnya ketika sedang melakukan aktivitas sehari-hari. Itulah sebabnya kondisi prasasti sering kali rusak atau gompal, mungkin terbentur cangkul atau benda keras lainnya.
Umumnya mereka tidak tahu bahwa benda yang ditemukan itu adalah batu kuno yang mengandung tulisan. Tidak usah heran kalau keberadaan prasasti hampir selalu diabaikan masyarakat awam. Mereka membiarkan batu kuno itu tergeletak di tengah sawah atau dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga, antara lain menjadi batu asah dan papan cuci pakaian. Bahkan, sejumlah prasasti sudah dipecah-pecah penduduk menjadi pengganjal pintu, tempat memasak, dan penguat tiang rumah.
Khusus prasasti di Jawa Timur, terutama dari zaman raja Airlangga, kebanyakan terbuat dari batu yang agak rapuh. Karena berbahan semacam batu pasir, maka pahatan tulisannya semakin lama semakin tipis. Museum Tulung Agung banyak memiliki koleksi prasasti seperti ini, semoga tidak terbengkalai.***
Penulis: Djulianto Susantio
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H