Tulisan tentang “Ribuan Benda Sejarah Indonesia di Luar Negeri” (Kompas, 10/7/2013) dan “Benda Bersejarah Belum Dioptimalkan” (Kompas, 11/7/2013) menunjukkan masalah lama ini masih terus mengendap tanpa ada upaya penyelesaian. Sebenarnya sejak beberapa tahun lalu pemerintah sudah melakukan upaya agar benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala yang masih berada di luar negeri dapat dibawa pulang ke Tanah Air. Salah satunya adalah upaya pengembalian Prasasti Sangguran yang masih tersimpan pada keturunan Lord Minto di Skotlandia. Prasasti itu bila sudah dikembalikan, rencananya akan ditempatkan di Museum Nasional Jakarta.
Meskipun tahun penemuannya dan siapa penemunya tidak tercatat, namun tempat penemuannya diketahui berada di daerah Ngandat, Malang. Alih aksara Prasasti Sangguran pernah dilakukan oleh ahli epigrafi Belanda JLA Brandes dan NJ Krom sebagaimana dimuat dalam Old Javaansche Oorkonden(Prasasti-prasasti Berbahasa Jawa Kuno) pada abad ke-19.
Prasasti Sangguran bisa berada di Skotlandia karena dibawa oleh Raffles sewaktu menjadi Gubernur Jenderal Inggris di Hindia Belanda (1811-1816). Kemudian prasasti tersebut ditempatkan di kediaman Lord Minto, seorang kolega Raffles, sehingga dikenal dengan nama “Batu Minto”. Minto pernah menjabat Gubernur Jenderal Inggris di India dan pada 1811 menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.
Yang luar biasa adalah Prasasti Sangguran terpahat pada batu tunggal, dengan ketinggian dua meter dan berat mencapai 300 ton. Mengapa prasasti itu dipilih oleh Raffles untuk dijadikan cenderamata kepada Minto, masih menjadi tanda tanya besar. Begitu pula cara mengangkat dan membawanya ke sana.
Raja Wawa
Prasasti Sangguran ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa kuno. Isi pokoknya tentang peresmian Desa Sangguran menjadi sima (tanah yang dicagarkan) oleh Sri Maharaja Rakai Pangkaja dyah Wawa Sri Wijayaloka Namestungga pada 14 Suklapaksa bulan Srawana tahun 850 Saka (= 2 Agustus 928 Masehi).
Prasasti tersebut menyebutkan pula nama RakryanMapatih I hino pu Sindok Sri Isanawikramadan istilah simakajurugusalyan di Mananjung. Yang menarik, sima tersebut ditujukan khusus bagi para juru gusali, yaitu para pande atau pandai (besi, perunggu, tembaga, dan emas). Isi prasasti seperti itu boleh dikatakan amat langka, jarang terdapat pada prasasti-prasasti lain yang pernah ditemukan di Indonesia.
Ahli epigrafi Boechari menafsirkan bahwa mungkin pada masa pemerintahan Raja Wawa ada sekelompok pandai atau seorang pemuka pandai, yang berjasa kepada raja. Pendapatnya didasarkan atas analogi dari kitab kuno Pararaton yang menyebutkan Mpu Gandring, tokoh yang dianggap pembuat keris legendaris, bersama keturunannya mendapat hak istimewa dari Sri Rajasa (Ken Arok) berupa anugerah simakajurugusalyan (Sejarah Nasional Indonesia II, 1984).
Prasasti Sangguran juga dianggap unik karena menyebutkan istilah rakryankanuruhan. Menurut JG de Casparis, kanuruhan berasal dari nama Kerajaan Kanjuruhan yang disebut dalam Prasasti Dinoyo (760 Masehi). Kerajaan itu pernah berpusat di sekitar Malang sekarang.
Rupa-rupanya Kerajaan Kanjuruhan itu pada suatu ketika ditaklukkan oleh Raja Mataram. Namun keturunan raja-rajanya tetap berkuasa sebagai penguasa daerah dengan gelar rakryankanuruhan. Oleh karena gelar kanuruhan ditemukan di antara tulisan-tulisan singkat pada salah satu gugusan Candi Loro Jonggrang (Prambanan), diperkirakan sebagai penguasa daerah, dia menyumbangkan candi perwara pada candi kerajaan itu.