Mohon tunggu...
Djoko Ali
Djoko Ali Mohon Tunggu... lainnya -

juru ukur jalan.... juru atur pasar.... juru damping org lain.....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Unjuk Rasa Bukan Kebuntuan Komunikasi Politik ?

30 Oktober 2013   07:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:51 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demonstrasi/ unjuk rasa (selanjutnya saya katakan UNJUK RASA) mewarnai hiruk pikuk kota. Ada buruh bersatu, ada mahasiswa menuntut sesuatu, ada Pedagang Kaki Lima (PKL)  meminta kebijakan dari Kepala Daerahnya.

Di ujung barat Indonesia, Kota Banda Aceh, pemerintah kotanya sedang menegakkan aturan, menertibkan dan menata kota agar lebih bermanfaat dan indah. Sebagian warga tidak menyetujui dan sebagian warga yang lain sangat setuju.

Warga yang tidak setuju dengan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah para PKL yang terkena dampak langsung pada penertiban tersebut. Kemudian mereka memilih berunjukrasa ke Pemerintah Kota Banda Aceh.

Khusus untuk para PKL, mereka berunjukrasa dipimpin oleh orang yang secara sosial dekat dengan Walikota/ Wakil Walikota Banda Aceh. Sehari-hari para pemimpin unjuk rasa ini memiliki akses yang baik kepada Kepala Daerah dan juga para Kepala SKPD terkait. Mereka bisa bertemu di kantor dan atau di warung kupi untuk menjalin silaturahmi. Sehingga secara politik dan sosial tidak ada masalah komunikasi diantara mereka (para pemimpin unjuk rasa PKL dan Kepala Daerah atau Kepala SKPD).

Dalam teori-teori gerakan sosial dan politik atau gerakan massa atau psikologi massa bahwa unjuk rasa terjadi karena ada kebuntuan komunikasi politik di daerah tersebut. Para Kepala Daerah-nya tidak mau mendengarkan keluhan masyarakat, mereka cenderung membuat keputusan politik dengan mengabaikan peran masyarakat. Selain itu, masayarakat tak bisa mengakses Kepala Daerah atau Kepala SKPD karena para pemimpin tersebut cenderung bersifat tertutup. Sehingga masyarakat memilih unjuk rasa sebagai upaya mengkomunikasikan aspirasinya kepada Kepala Daerah.

Pada kasus Kota Banda Aceh, Walikota dan Wakil Walikota serta Kepala SKPD pada jajarannya sangat terbuka dan bisa ditemui dengan membuat jadwal terlebih dahulu. Apalagi para pemimpin unjuk rasa PKL hari ini, dia adalah orang yang sangat dekat dengan Walikota dan Wakil Walikota Banda Aceh, hal ini dapat diketahui dengan cara dia memanggil Kepala Daerah tersebut dengan sebutan Abang untuk Walikota Banda Aceh dan Kakak untuk Wakil Walikota Banda Aceh.

Jadi menurut pemikiran saya bahwa Teori-Teori Gerakan Sosial Politik itu tidak dapat menjelaskan fenomena unjuk rasa yang ada di Kota Banda Aceh terkait dengan unjuk rasa PKL hari Selasa, 29 Oktober 2013. Tidak ada kebuntuan komunikasi politik dalam hal ini. Lalu, apa yang ingin dicapai oleh para pemimpin unjuk rasa PKL tersebut? Betulkah mereka bergerak untuk kepentingan para PKL?.

Wallahualam bi sawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun