Berkomunikasi dengan manusia itu sulit, padahal komunikasi adalah gerbang pembuka jalinan antar manusia. Terkadang hanya karena salah satu kalimat, maksud baik kita diartikan salah, dan setelah itu hubungan pertemanan bisa jadi renggang.
Saya sendiri merasakan betapa sulitnya menjalin komunikasi setelah mulai bekerja. Kebetulan rekan-rekan kerja saya berasal dari latar belakang pendidikan, agama, etnis, dan propinsi yang berbeda. Karena sebelumnya saya sudah sering berinteraksi dengan orang-orang dari kalangan berbeda, saya pikir metode lama saya akan juga efektif. Ternyata saya salah anggap. Orang-orang yang berinteraksi secara intens dengan saya selama sebelum bekerja memang datang dari latar belakang yang berbeda, tapi status saya sebagai mahasiswa membuat masalah ini tidak muncul ke permukaan. Dari kalangan teman kuliah sudah jelas, kami saling menghargai kemampuan masing-masing. Dari kalangan masyarakat dan pihak-pihak lain sepertinya status mahasiswa membuat konflik mental tidak terasa. Mungkin segan dengan mahasiswa, mungkin malas adu mulut. Entahlah.
Lulus kuliah dan mulai bekerja adalah masa-masa paling menguras emosi dan ketabahan saya. Dimulai dari fitnah rekan kerja yang mengatakan ijazah saya palsu, dianggap sok rajin (mau gimana lagi, daripada bengong baca koran dari pagi sampai sore seperti yang lain), dll. Yang paling menakjubkan bagi saya adalah "mengapa orang-orang ini percaya saja dengan omongan bullshit seperti itu". Saat itulah saya belajar sebuah hal yang penting "manusia itu mudah direkayasa dan dibohongi, malahan kebohongan lebih mudah dipercaya daripada menceritakan hal yang sesungguhnya".
Setelah menyadari hal itu, batin saya jadi lebih tenang. Dan saya bisa mengobservasi manusia dengan lebih baik. Hasilnya? (1) Ada beberapa manusia yang sudah terbentuk untuk otomatis berbohong sampai pada hal-hal yang tidak penting pun tetap berbohong. (2) Ingatan manusia pendek, jika kemarin kita tanya jawabannya A, maka hari ini bisa B (ini bukan karena berbohong, sekedar lupa). (3) Sensitif, gampang tersinggung, namun tidak mudah memaafkan.
Point ketiga ini yang paling penting. Semakin bertambah usia, semakin sensitif dan mudah salah tangkap, jadi kita harus hati-hati dalam bersikap dan berkata-kata. Point ini juga yang membuat banyak kita temukan orang-orang yang bicara dengan intonasi artifisial, perlahan, dan pemilihan kata yang berbelit-belit tanpa tujuan. Tokh yang terpenting tidak membuat orang lain marah lalu dendam pada kita.
Saya merasa ini kekurangan terbesar saya dalam berkomunikasi. Saya masih belum dapat bicara dengan intonasi yang dibuat-buat, dan juga masih belum bisa bicara secara perlahan dan berbelit-belit. Saya juga lebih fokus pada konteks dan tujuan pembicaraan daripada manusia yang sedang bicara pada saya. Padahal isi pembicaraan bukanlah hal yang terpenting (setidaknya di lingkungan pekerjaan saya), tapi orang yang sedang bicara. Karena itulah small talk lebih penting untuk menciptakan suasana yang kondusif, setelah itu baru bicarakan pekerjaan.
Setelah melihat begitu banyaknya kekurangan saya dalam berkomunikasi, saya jadi salut dengan orang-orang yang punya skill ini. Kira-kira sudah sekitar 8 tahun saya menyadari kelemahan saya dalam berkomunikasi, namun masih belum dapat memperbaikinya. Sedangkan sering saya temukan anak-anak setingkat SMP dan SMA yang punya skill komunikasi yang bagus. Kira-kira berapa lama waktu yang mereka habiskan untuk mempelajarinya ya? Apakah ini yang disebut bakat alami? Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H