Bolak-balik kita bicarakan masalah korupsi yang dilakukan oleh kalangan legislatif dan eksekutif semuanya akan bermuara kedalam partai politik. Kalangan politisi yang menduduki jabatan legislatif sebagai anggota DPR, melakukan korupsi. Yudikatif sebagai penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa dan hakim, juga korupsi. Eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan yang terdiri dari menteri, gubernur, bupati dan walikota, juga melakukan korupsi.
Kecuali kalangan yudikatif yang bukan berasal dari parpol. kalangan legislatif dan eksekutif kebanyakan berasal dari parpol. Tanpa dukungan parpol mereka tidak mungkin dapat menduduki kursinya sekarang, Untuk memperoleh dukungan parpol mereka membutuhkan dana. Karena parpol tidak akan menerima mereka sebagai kadernya kalau tidak memberikan uang. Tiada uang tiada kursi.
Jumlah uang yang pernah terungkap untuk jabatan gubernur DKI yang diminta oleh sebuah parpol konon hingga mencapai Rp 40 milyar ! Sebuah jumlah yang fantastis, tetapi tokh masih ada orang yang berani memberikannya demi kedudukan gubernur tersebut. Jadi, sudah jadi rahasia umum bahwa untuk mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati atau walikota, sejumlah uang dalam jumlah besar harus sudah disiapkan. Uang itu akan masuk ke kas parpol yang akan mengusungnya.
Kompas 20/6/2011 secara rinci menghadirkan daftar kerusakan moral bangsa Indonesia dalam bentuk korupsi yang merasuk ke seluruh sendi kehidupan kita. Menurut catatan Kompas ada 158 kepala daerah yang terdiri atas gubernur, walikota yang tersangkut korupsi. Kita bisa membayangkan bagaimana jalannya birokrasi kita yang dilakukan dengan semangat korupsi dalam melayani masyarakat yang notabene adalah rakyat yang memilihnya dahulu.
Selanjutnya Kompas menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada 42 anggota DPR yang terseret korupsi dalam masa 2008-2011 ditambah dengan 30 orang anggota DPR 1999-2004 yang menerima suap dalam kasus Miranda Gultom yang terkenal itu. Dengan demikian, anggota DPR kita, wakil rakyat yang terhormat itu, melakukan korupsi. Yang pasti bukan untuk kepentingan pribadi mereka karena gaji serta fasilitas yang diterimanya sudah lebih daripada cukup. Hasil korupsi itu akan disetorkan ke kas parpol mereka sebagai imbal jasa.
Tidaklah mnegherankan kalau Golkar, PDI-P dan bahkan, Partai Demokrat (PD), membela dan melindungi kader-kadernya yang melakukan korupsi. Sampai-sampai elite Golkar pernah mengunjungi penjara tempat rekan-rekannya ditahan untuk menguatkan dukungan partainya. Demikian juga PDI-P sampai mendatangi KPK untuk meminta "klarifikasi" terhadap kader-kadernya yang ditahan oleh KPK yang dapat dikatakan sebagai ancaman terselubung terhadap KPK.
Dan sekarang kasus Nazaruddin yang membelit PD pun secara kasat mata telah dibela dan dilindungi oleh kawan-kswannya sehingga membuat KPK tidak berdaya alias impoten. Tuduhan korupsi terhadap kader PD semakin meruyak setelah desas-desus kader lainnya juga ikut terlibat dalam kasus korupsi lainnya seperti yang diungkapkan oleh Koran Tempo 20/6/2011.
Supaya parpol tidak menjadi biang korupsi serta melindungi kadernya yang korupsi maka keuangan parpol harus dikelola secara profesional. Pencarian dana dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh pengusaha kaya yang diangkat sebagai donatur tetap. Pengusaha ini memiliki ideologi yang sama dengan parpol tersebut tentunya. Laporan keuangannya pun harus diumumkan kepada publik setelah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik.
Jalan keluar lainnya adalah parpol diizinkan untuk mendirikan perusahaan yang dikelola oleh kader-kadernya. Sebagian keuntungannya disumbangkan kepada parpolnya. Misalnya dalam bidang pertanian massal atau peternakan massal yang butuh keterlibatan petani dan peternak dalam skala besar. Disamping bisa memakmurkan petani atau peternak, parpol juga bisa memperoleh dukungan suara mereka.
Tapi sayangnya, parpol dilarang memiliki badan usaha komersial. Alhasil, demikianlah selalu parpol jadi sumber korupsi melalui tangan kader-kadernya yang duduk dalam kursi legislatif dan eksekutif. Parpol menjadi "biang" korupsi karena tidak punya sumber dana untuk membiayai dirinya, apalagi untuk kampanye pemilu. Dari mana uangnya ? Ya, dari hasil korupsi kader-kadernya. Demikianlah lingkaran setan (vicious circle) ini berulang-ulang berputar terus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H