Akhirnya, yang menjadi ketua umum Partai Demokrat (PD) adalah Anas Urbaningrum (AU), bukan Marzuki Alie (MA) atau Andi Mallarangeng (AM). AU terpilih menjadi Ketua Umum PD untuk periode 2010-2015 melalui proses pemilihan yang menegangkan, terutama pada putaran kedua ketika bersaing dengan MA. Sementara itu, AM sejak putaran pertama sudah gugur. Padahal. ia didukung oleh mesin kampanye yang hebat. Kota Bandung menjadi biru dengan poster, spanduk dan baliho PD yang berkibar dimana-mana. Dan semuanya berisi gambar AM For Demokrat 1. Kekalahan AM yang tragis, sungguh merupakan pembelajaran yang baik untuk melakukan introspeksi. Bahwa tidak selalu kampanye yang meriah dan berlebihan bisa meraih kursi ketua umum. Bahwa masih banyak faktor lain yang menentukan, selain nasib baik, tentunya. Kalau kita lihat secara obyektif, kekalahan AM disebabkan oleh : Pertama, AM menggandeng Ibas, salah seorang putera SBY. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa ia memperoleh dukungan dari keluarga Cikeas yang diidentikkan dari SBY. Padaha, hal ini merupakan kesalahan fatal. Hal ini membuat posisi SBY jadi serba salah. Kalau dilarang, tidak demokrattis. Kalau tidak dilarang, dan ternyata kemudian AM menang, maka muka SBY juga tercoreng. Seakan-akan, berkat Ibas, maka AM menang. Kedua, strategi kampanye AM keliru. Kampanye AM yang sangat gencar dan mewah meriah, terutama di kota Bandung, salah sasaran. Dalam poster, spanduk dan baliho yang bertebaran seolah-olah AM sedang menghadapi pemilu presiden atau pilkada gubernur atau bupati. Semua iklan politik itu ditujukan kepada masyarakat luas, yang tidak ada hubungannya dengan PD. Seharusnya, yang digarap adalah para pengurus daerah dan cabang PD, bukan mayarakat yang tidak memiliki hak suara. Ketiga, sikap AM sendiri yang terkesan arogan. Sebelum pemilihan, ia sudah menggandeng Ibas, yang seolah-olah kemenangan sudah berada ditangannya. Kemudian, ia pernah mengatakan bahwa kalau ia menang maka AU akan diangkat sebagai sekretaris jenderal PD. Klaim bahwa ia memperoleh dukungan suara yang mutlak, membuat ia sesumbar sebaiknya pemilihan ini didasarkan atas aklamasi, supaya langsung jadi, tidak makan waktu dan tidak bertele-tele. Sikap seperti ini, tentu akan kurang menyenangkan bagi orang lain, terutama dari daerah-daerah. Keempat, mungkin secara diam-diam SBY memberikan bisikan yang tidak mendukugnya. Seandainya pun demikian halnya, pasti semua orang akan membantahnya. Seperti kita tahu, politik adalah sesuatu yang sulit diprediksi, hitam bisa jadi putih, dan putih bisa jadi hitam atau abu-abu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H