Pada mulanya adalah KPK yang membongkar kasus korupsi KTP elektronik sebesar Rp 2,3 triliun dari jumlah anggaran Rp 5,3 triliun. Nama-nama anggota DPR pun menjadi sasaran utama. Karena memang sebagian besar para pelakunya diduga berada di gedung DPR, bahkan, termasuk ketuanya. Sungguh memalukan, jika benar-benar terbukti bahwa ketua DPRnya sendiri ikut bermain sebagai "biang" koruptor dengan menerima bagian yang paling besar, konon, sekitar Rp 576 milyar.
Kemudian, ketika menghadirkan salah serang anggota DPR sebagai saksi, tersembullah fakta bahwa memang benar beberapa orang rekannya telah menerima uang haram tersebut. Tetapi ketika dalam persidangan berikutnya, anggota DPR tersebut mencabut beraita acara pemeriksaan (BAP) sebelumnya. Bahkan, ia berbalik menuduh KPK telah memaksa dan menekannya untuk membuat pengakuan tersebut. Keruan saja, KPK langsung menghadirkan tim pemeriksanya, termasuk Novel Baswedan, yang membantah tuduhan tersebut. Ramailah kasus ini sampai-sampai anggota DPR yang menjadi saksi tersebut sempat dijadikan buronan karena telah menghilangkan diri. Dan Novel pun disiram air raksa oleh komplotan yang diduga atas suruhan orang lain, yang kemungkinan besar adalah para koruptor yang terlibat dalam kasus KTP elektronik tersebut.
Kasus korupsi yang bersarang di gedung DPR sudah terjadi berulang-ulang sejak belasan tahun yang lalu, sejak era "reformasi" tahun 1999. Korupsi pun tampaknya mengalamai "reformasi" sesuai dengan zamannya. Sekarang setiap "angkatan" anggota DPR seluruhnya tidak luput dari korupsi. Setiap 5 tahun sekali terjadi penggantian anggota DPR. Dan ajaibnya setiap tahun pula DPR terlibat dalam kasus korupsi. Rupanya korupsi sudah menjadi "trade mark"Â dan merupakan kewajiban bagi anggota DPR untuk melakukannya. Tidaklah mengherankan, kalau ada survei yang menyatakan bahwa DPR adalah lembaga yang paling korup di Indonesia.
Upaya untuk melemahkan KPK pun selalu menjadi acara rutin DPR. Karena ternyata KPK tetap berani menangkap anggota DPR yang melakukan korupsi. Padahal, para komisioner KPK dipilih oleh DPR, sehingga anggota DPR menganggap bahwa seharusnya KPK tunduk kepada DPR. Mereka mungkin berpikir bahwa tanpa DPR tidak ada KPK. Karena itu KPK tidak berhak dan tidak berwenang untuk memeriksa dan menangkap anggota DPR. DPR berada diatas KPK. DPR adalah lembaga yang "untouchables".
Dan pada klimaksnya  adalah kasus KTP elektronik ini yang menyangkut dugaan keterlibatan ketua DPR dan beberapa anggotanya antara lain dari fraksi Golkar, PDI-P, Hanura, PPP dan PKB. Yang tidak disebut namanya adalah anggota DPR dari fraksi PKS dan Gerindra. Secara demonstratif DPR pun mengambil inisiatif untuk membentuk panitia khusus angket untuk minta pertanggungjawaban KPK terhadap kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Sungguh ironis! Sungguh memalukan! Â
DPR yang seyogyanya mewakili kepentingan rakyat, ternyata lebih mementingkan pembelaan terhadap anggotanya yang notabene melakukan tindakan tercela. Dimana letak hati nurani mereka? Seandainya yang melakukan korupsi sebesar Rp 2,3 triliun itu adalah kelompok atau lembaga lain, apakah DPR akan membentuk panitia angket?
Tampaknya Golkar dan PDI-P sudah mengabaikan prospek pemilihan umum 2019 yang sebentar lagi akan dilakukan secara serentak. Sekarang secara kasat mata tampak bahwa kedua partai politik (parpol) besar tersebut sangat mendukung anggotanya yang diduga terlibat mega korupsi KTP elektronik tersebut. Masyarakat sekarang dapat menilai bahwa kedua parpol besar tersebut ternyata hanya membual tentang pemberantasan korupsi. Mereka lebih mementingkan pembelaan kepada anggotanya daripada upaya mensejahterakan rakyat yang mengusungnya. Mungkin ganjarannya akan tampak pada hasil pemilu 2019 yang akan datang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H