Pembunuhan Mayor Jenderal Qassem Soleimani oleh AS di Bagdad pada tanggal 3 Januari 2020 merupakan klimaks dari target yang tampaknya sudah direncanakan sejak 18 bulan yang lalu oleh CIA dan Mossad (Kompas 14/1/2020).Â
Sebelumnya, Donald Trump sudah memperoleh informasi mengenai pembunuhan tersebut dan tanpa ragu-ragu ia mengacungkan jempolnya. Tampaknya AS dapat dengan mudah menentukan siapa saja dan dari negara mana saja untuk dibunuh dengan rudal dari pesawat nir-awak (drone) tanpa ada yang melarang ....dan tanpa ada sanksi apapun.
Dan Iran pun kelabakan, karena intelijennya tidak mampu mengendus rencana pembunuhan tersebut. Melayanglah nyawa Soleimani, Komandan Brigade Al-Quds, unit elit Garda Revolusi Iran tersebut diterjang rudal dari pesawat nir-awak Amerika. Konon, Solaimani merupakan orang terkuat kedua, setelah Ayatollah Ali Khameini, pemimpin tertinggi Iran.
Dunia pun heboh dan gempar. Ada yang meramalkan bakal pecah Perang Dunia ke 3 yang dipicu oleh pembunuhan Solemani tersebut, sama seperti halnya ketika Perang Dunia ke 1 meletus karena pembunuhan seorang bangsawan Austria pada tahun 1914 yang lalu.Â
Dan AS pun, melalui mulut Donald Trump, mengancam Iran, jika Iran berani membalas pembunuhan tersebut maka seluruh situs budaya Iran serta instalasi militernya akan dihancurkan habis-habisan. Di Timur Tengah, kini AS memiliki 24.000 tentara yang dilengkapi oleh persenjataan canggih yang mengepung Iran (Kompas, 2/1/2020)Â sehingga ancaman tersebut bisa saja terwujud karena Trump terkenal memiliki semboyan "tembak dulu urusan belakangan".Â
Dan kalau betul ini terjadi mungkin Perang Timur Tengah akan meletus. Untunglah Iran dapat menahan diri. Sebagai "penghibur" dendam  maka hanya pangkalan militer AS di Irak saja yang dihantam oleh 22 peluru kendali Iran, itupun dilakukan tanpa seorang pun tentara AS  yang terluka apalagi tewas.Â
Tembakan Iran tampaknya merupakan salvo formalitas saja, yaitu untuk menunjukkan kemarahan sesaat, tanpa meninmbulkan dampak besar. Karena Iran menyadari bahwa persenjataannya tidak akan mampu menandingi AS, yang merupakan negara adidaya nomor satu di dunia.
Tetapi justru yang menjadi korban adalah pesawat Boeing 737-800 milik Ukraine International Airlines yang tertembak jatuh oleh Iran dengan menewaskan seluruh 176 orang penumpang berikut awak pesawatnya. Presiden Iran, Hassan Rouhani, mengatakan bahwa penyelidikan militer terhadap teragedi tersebut telah menemukan "rudal yang ditembakkan karena kesalahan manusia", yang disebutnya sebagai "kesalahan yang tak termaafkan" (Kompas 13/1/2020).Â
Dan tentu saja ini menjadi tanggung-jawab Iran, walaupun sebenarnya kalau tidak ada pembunuhan Soleimani insiden tersebut mungkin  tidak akan terjadi. Iran yang panik, Iran yang frustrasi, Iran yang kalang-kabut, langsung menembakkan rudalnya ke pesawat penumpang itu yang bernasib malang, yang mungkin dikiranya adalah pesawat pembom AS.Â
Yang menjadi pertanyaan adalah jika Amerika bisa dengan leluasa menentukan target siapa yang akan dibunuh karena dugaan sangat berbahaya bagi Amerika, lalu apakah Iran juga bisa melakukan pembunuhan terhadap panglima AS di Timur Tengah atau bahkan, di daratan AS sendiri? Â
Lalu jika Amerika bisa mengirimkan tentaranya dan berperang di Afghanistan, Irak, Siria, Kuwait dan lain-lain dengan alasan memiliki senjata pemusnah massal atau rezim yang otorititer atau terorisme, lalu apakah negara lain juga bisa melakukan agresi terbuka seperti itu? Tanpa sanksi apapun?