Saya mulai mengirimkan tulisan berupa tiga buah puisi untuk pertama kali dan dimuat di Harian "Reporter" pada awal tahun 1958. Padahal puisi tersebut dibuat dengan tulisan tangan. Hal ini membuat saya terdorong untuk menulis lagi dan terus menulis. Sebelumnya, pada tahun 1955, pada saat masih duduk di SMP kelas 2 saya sudah bisa membuat cerita pendek (cerpen).
 Ada dua buah cerpen yang berhasil dimuat di majalah komik "Tjahaja", Bandung. Cerpen pertama mengisahkan seekor anak ikan yang tidak mendengarkan nasihat induknya sehingga kena pancing seorang pemancing yang baik hati, yang melepaskannya kembali karena merasa kasihan. Cerpen lainnya menceritakan seorang anak yang durhaka terhadap ibunya. Honornya adalah poswesel senilai Rp 10,- (sepuluh rupiah) untuk cerpen yang pertama dan langganan majalah "Tjahaja" selama tiga bulan untuk cerpen yang kedua.
Pada tahun 1959 dan 1960-an hampir semua surat kabar harian atau mingguan atau majalah bulanan memiliki rubrik khusus untuk para remaja yang gemar menulis. Dalam rubrik ini para remaja Indonesia diberi kesempatan untuk mengembangkan bakatnya dalam bidang prosa dan puisi. Sayang sekali, saat ini rubrik remaja semacam itu sudah tidak ada lagi, tinggal kenangan belaka. Mungkin dianggap sudah bukan zamannya lagi. Padahal dengan adanya rubrik khusus tersebut, bakat terpendam para remaja dapat disalurkan sehingga akan muncul penulis-penulis yang handal di kemudian hari.
Yang masih saya ingat, antara lain Harian Bintang Timur memiliki rubrik "Indonesia Muda", Harian Sin Po memiliki "Sin Po Muda", kemudian menjadi Harian Pantja Warta yang memiliki rubrik "Pantja Teruna", lalu berubah lagi menjadi Harian Warta Bhakti yang memiliki "Teruna Bhakti", yang konon diasuh oleh Ajip Rosidi, salah seorang sastrawan Indonesia yang menggunakan nama "Kak Ros". Harian Suluh Indonesia memiliki rubrik "Suluh Indonesia Muda", Harian Duta Masyarakat memiliki "Duta Teruna", Mingguan Berita Minggu memiliki "Kuntjup Harapan", Harian Sinar Harapan memiliki "Sinar Remaja", sedangkan majalah Pantja Warna memiliki rubrik "Pantja Muda" dan masih banyak lagi yang lain, yang tidak ingat lagi.
Setelah berkeluarga dan mulai meniti karir, tulis menulis puisi maupun cerpen terhenti. Kadang-kadang saya masih juga menulis dalam bentuk artikel perbankan sesuai dengan profesi saya pada waktu itu. Â Tetapi kesibukan dalam pekerjaan telah menyita waktu saya sehingga hasrat menulis tenggelam lagi.Namun pada tahun 2009, tepatnya bulan November, hati saya bergejolak lagi, keinginan menulis tak tertahankan lagi.Â
Secara kebetulan saya melihat blog Kompasiana yang "mengundang" masyarakat untuk menjadi penulis dadakan, bebas berkreasi, tanpa sensor, dan pasti ditayangkan tanpa lewat saringan redaksi seperti di surat kabar atau majalah. Dan mulailah saya aktif lagi menulis segala macam masalah dari masalah politik, budaya, sosial dan ekonomi. Kompasiana.com membangkitkan kembali  kegemaran saya menulis. Kompasiana menjadi "kekasih" baru saya setelah selama lebih daripada 50 tahun tidak pernah disentuh lagi.
Sekarang saya bisa menulis dengan leluasa dengan menggunakan komputer, tidak lagi dengan tulisan tangan. Artikel juga bisa ditulis dan segera ditayangkan pada waktu itu juga. Oh, alangkah bahagianya ! Kalau dahulu tulisan saya  bisa dimuat setelah menunggu selama 4 atau 5 minggu baru muncul di surat kabar kesayangan saya.Â
Sekarang, dalam waktu sekejap sudah langsung bisa dibaca oleh kompasianer. Saya tidak begitu mempedulikan jumlah pembaca tulisan saya, yang paling penting saya sudah bisa menyalurkan hasrat terpendam saya yang selama puluhan tahun berada dalam belenggu kesibukan rutinitas. Sekarang, jumlah tulisan saya sudah lebih daripada 700-an selama 8 tahun menjadi "kekasih" Kompasiana. Dan memang betul, sekarang Kompasiana sudah menjadi jantung hati saya .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H