Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung telah diresmikan oleh Presiden pada tanggal 21 Januari 2016. Kontroversi pembangunan iproyek ni makin berkembang. Para ahli lingkungan hidup mengungkapkan wacana analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang diabaikan oleh pemerintah. Kemungkinan tanah longsor dan gempa bumi di area sepanjang rel kereta api bisa terjadi sewaktu-waktu. Dan kalau hal yang terburuk terjadi, maka korbannya bakal ratusan jiwa mengingat kereta cepat yang melaju dengan kecepatan lebih daripada 300 km per jam tidak bisa direm mendadak.
Ada pejabat pemerintah yang menginginkan agar proyek kereta cepat ini mampu bertahan selama 100 tahun sehingga setelah konsesinya habis dalam jangka waktu 50 tahun, pemerintah masih bisa mengoperasikannya selama 50 tahun berikutnya. Mungkin konsorsium BUMN Tiongkok akan tertawa. Mana mungkin gerbong kereta api serta perlengkapannya bisa tahan 100 tahun, kecuali relnya mungkin. Stasiun-stasiun kereta apinya mungkin masih bisa digunakan selama 100 tahun asal konstruksi bangunannya betul-betul kokoh.
Dan yang sangat dikawatirkan oleh Tiongkok adalah kalau ditengah jalan terjadi krisis ekonomi, misalnya, lalu kreditnya macet, lalu siapa yang menanggung utangnya ? Konsorsium BUMN Indonesia saja atau kedua konsorsium BUMN Indonesia dan Tiongkok atau seluruhnya ditanggung oleh China Development Bank (CDB), karena pemerintah tidak memberikan jaminan apa-apa ? Tidak mungkin CDB akan membongkar rel kereta cepat dan mengangkutna ke Tiongkok berikut gerbong-gerbongnya sekalian. Atau akan dijualnya kepada pedagang besi dari Madura sebagai rongsokan ?
Terlepas dari masalah kontroversi pro dan kontra tersebut ada baiknya kalau kita melakukan kalkulasi kasar tanpa perhitungan yang canggih dibawah ini. Karena tidak canggih mungkin saja kalkulasi ini sudah dianggap ketinggalan zaman alias obsolete atau terlalu naif. Namun, bagi orang awam seperti saya dan Anda, barangkali masih ada gunanya juga untuk memutar otak sedikit.Dan tentu bisa saja kalkulasi ini dianggap tidak masuk akal karena masih banyak faktor yang tidak ikut diperhitungkan. Kalkulasi kasar, apa adanya, dan sangat sederhana mengenai proyek ini adalah sebagai berikut :
1. Total investasi US Dollar 5,5 miliar atau setara Rp 75 triliun (kurs Rp 13.600 per US Dollar)
2. Pembiayaan oleh konsorsium BUMN (Indonesia dan Tiongkok) 25 % x Rp 75 triliun = Rp 19 triliun  (dibulatkan)
3. Kredit dari CDB 75 % x Rp 75 triliun = Rp 56 triliun, yang harus diangsur mulai tahun ke 11 sampai dengan tahun ke 50, karena ada grace period 10 tahun yang diberikan oleh CDB. Konsorsium hanya bayar bunga saja selama 10 tahun pertama tanpa mengangsur yaitu sebesar 2 % per tahun atau sama dengan 2 % x Rp 56 triliun = Rp 1.1 triliun per tahun.
4. Mulai tahun ke 11 sampai dengan tahun ke 50 konsorsium harus bayar angsuran pinjaman sebesar Rp 56 triliun : 40 = Rp1,4 triliun per tahun
5. Jika proyek ini selesai sesuai jadwal yaitu 3 tahun maka mulai tahun 2019 konsorsium harus bayar bunga Rp 1,1 triliun per tahun sampai tahun 2029 dan mulai tahun 2030 sampai tahun 2070 harus bayar angsuran Rp 1,4 triliun plus bunga yang dirata-ratakan menjadi Rp 0,8 triliun per tahun (karena jumlah pinjaman makin menurun dan dikalkulasi secara sangat kasar) = Rp 2,2 triliun per tahun
6. Dengan demikian kita dapat menghitung dengan sangat kasar jumlah penumpang yang diperlukan oleh konsorsium untuk membayar bunga pinjaman pada tahun 1 sampai dengan tahun ke 10 dan bayar angsuran plus bunga pada tahun ke 11 sampai dengan tahun ke 50 dengan asumsi harga tiket kereta Jakarta-Bandung adalah Rp 200.000,- per penumpang selama 50 tahun.
7. Perhitungan  kasar pada periode tahun 2019 sampai tahun 2029. Apabila harga tiket kereta cepat Rp 200 ribu per orang maka untuk mencapai break-even point saja diperlukan penumpang sebanyak Rp 1.100 miliar : Rp 200 ribu = 550.000 orang per tahun atau 45.800  orang per bulan atau 1.500 orang per hari.Â