Mohon tunggu...
Muhammad Djody Satriani
Muhammad Djody Satriani Mohon Tunggu... Relawan - Pertahanan Ideologi Sarekat Islam

Penulis adalah aktivis pemuda

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memperkuat Jiwa : Sebuah Seni Menghindari Isu Kesehatan Mental

20 Januari 2025   01:54 Diperbarui: 20 Januari 2025   02:20 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewasa ini, isu kesehatan mental jadi hal yang membuat saya tersenyum geli , kerja baik tapi atasan tidak memberikan reward langsung update status di media sosial, terjebak macet 2-3 jam di Jakarta langsung memaki, pekerjaan diluar jobdesc tiba-tiba membuat burnout. Setelahnya, butuh healing dengan vakansi ke Bali atau ke Singapura yang menghabiskan uang jerih payah kerjanya. Lalu lebih parahnya, sifat sembuh tersebut hanya temporer, terobati setelah pulang liburan. Tak lama muncul kembali pada situasi yang sama, berujung pada Burnout datang kembali. Siklus tersebut mengalami repititif sampai tak jarang harus sampai berobat ke psikiater. Pertanyaan besar kemudian hadir kepada saya, mengapa itu terjadi kepada sebagian orang dan tidak terjadi juga kepada sebagian orang (termasuk saya).

Lantas bagaimana agar kita lebih kuat? saya coba kupas kenapa orang-orang yang bisa survive akan hal tersebut bisa 'selamat' dari bahaya kesehatan mental. Sebelumnya saya ingin disclaimer terlebih dahulu bahwa tulisan ini tidak ilmiah dan tidak empiris (walaupun berdasarkan pengalaman pribadi). Karena wujud teks ini didorong oleh keresahan pribadi dan ingin sedikit memberikan sebuah motivasi untuk jangan menyerah. Saya bahasakan sebuat teorema ataupun bisa dibilang seni untuk kita menjadi lebih kuat.

Saya berasal dari keluarga tidak mampu, saya semasa kuliah sering kelaparan, tidak punya rokok, jalan kaki dan naik angkot kalau berpergian, sehingga hidup susah pada tahun 2014 sampai 2017 akhir banyak mempengaruhi perjalanan dalam menemukan kesejatian. Dalam, tahun-tahun sulit tersebut (vivere pericoloso versi saya) justru memicu saya untuk membuka pikiran sekaligus mencari cara mengalihkan kesulitan tersebut dengan tujuan agar saya tidak terjebak dalam realitas yang menyedihkan tersebut. Saya kemudian mencoba mengikuti beragam diskusi dari kiri hingga kanan. Membaca buku, berdialektika, hingga mencari uang. Fenomena ini kemudian membuat saya sedikit bisa survive dari kebanyakan orang.

Singkat cerita, eksplorasi mencari kesejatian ini yang membentuk mental saya, dan ada beberapa hal tambahan yang kemudian perlu saya paparkan. Pertama, pentingnya menyelami filsafat etika. Dalam hal ini Plato menjadi rujukan saya. Selain mengajarkan kebajikan dalam bentuk yang ideal, konsep jiwa menurut plato dibagi menjadi tiga. Pertama Logistikon tentang rasio atau akal budi. Kedua adalah Thymoeides (keinginan atau semangat), dan ketiga adalah Ephthymetikon (nafsu atau hasrat). Lalu kenapa Plato? karena saat mahasiswa saya dididik untuk sering berdialektika membuat filsafat dialektika menjadi relevan untuk saya.

Etika merupakan landasan penting dalam memperkuat tiga konsep jiwa versi Plato. Etika menurutnya merupakan entitas yang bersifat rasional dan Intelektual, jika mampu berpikir rasional maka akan timbul Thymoeides sebuah keinginan atau semangat, kemauan tinggi ini kemudian perlu kita konversikan untuk mencari pengetahuan sebanyak-banyaknya. Kebiasaan belajar, mengeksplorasi pengetahuan akan memberikan manusia sebuah gairah baru yang menciptakan mindset positif dan growth mindset (mindset bertumbuh) yang berimplikasi pada Logistikon atau akal yang digunakan untuk terus berpikir dan bertumbuh sehingga menciptakan etika dan moral yang membatasi sifat-sifat Ephthymetikon (Nafsu atau hasrat). Ketika nafsu buruk dapat di mitigasi maka kestabilan 3 unsur ini membuat manusia menjadi lebih bijaksana.

Harmoni jiwa ini perlahan saya mulai rasakan dampaknya. Lebih jauh, akan membuat kita jauh dari rasa tidak bersyukur, rasa takut seperti besok akan di layoff dari kerjaan, takut untuk berkembang karena sudah terlalu nyaman di suatu rumpun ilmu atau pekerjaan, dan menjalani hari-hari dengan bahagia. Kemudian, menurut saya manusia perlu role model atau inspirasi yang berasal dari objek fisika, dalam hal ini hal berwujud semisal manusia ataupun batu. Saya melihat banyak dari orang hebat memiliki inspirasi dari sesama manusia. Semua orang hebat di Dunia ini bisa terbentuk menjadi tokoh-tokoh besar karena selain memiliki jiwa yang kuat dan memiliki pandangan yang luas dan holistik, juga memiliki kesadaran bahwa perlunya belajar dari yang ahli dan menjadikan orang tersebut untuk dijadikan mentornya atau paling tidak sebagai referensinya. Karena dunia keras bung!.

Hari ini, di era yang serba mudah. Kita hanya perlu sering membaca autobiografi tokoh-tokoh dunia, karena bagi kita yang hanya remesan rengginang ini pandangan hidup dari tokoh-tokoh besar akan sedikit banyaknya memberikan hal baru dan bisa jadi menyelamatkan kita di dunia. Misal, Plato yang merupakan pengagum guru sekaligus mentornya yaitu Socrates, lalu Aristoteles yang belajar dari Plato dan dipengaruhi gagasan Socrates, lalu ada Descartes yang dipengaruhi Archimedes, Thomas Aquinas, kemudian Isaac Newton yang dipengaruhi oleh Rene Descartes, Kepler. Lalu bergeser ke dunia islam, Al-Kindi yang dipengaruhi Muhammad SAW dan Aristoteles, atau Imam Al-Ghazali yang dipengaruhi Al-Kindi . Lalu bergeser ke Jazirah Nusantara, tokoh besar Indonesia semisal Tan Malaka yang dipengaruhi gagasan Hegel, Al-Ghazali.

Terakhir, selain semua metode dialektika diatas. Penting untuk kita mengisi jiwa kita ini dengan hal-hal yang sifatnya kebatinan. Mengisi jiwa dengan aktivitas spiritual (Muslim dengan solat dan berdoa) akan menjauhkan kita dari burnout, ketakutan, kelemahan dan pikiran negatif lainnya. Lalu, akumulasi ini bisa menjadi kekuatan yang membawa kita pada gagasan mewah. Seringkali banyak filsuf seperti Plato dan Kant mendapatkan ide-ide besar yang berasal dari sumber-sumber irasional (semacam wahyu) atau Descartes yang mendapatkan ide dari mimpi.  Atau saya yang tiba-tiba menulis ini karena terbangun dari tidur karena mimpi aneh. Tabik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun