Mohon tunggu...
jo ko no ke ne
jo ko no ke ne Mohon Tunggu... -

Wong bodho kalah dening wong pinter;\r\nWong pinter kalah dening wong beja;\r\nWong beja luwih dening beja yen eling lan waspada.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Joko, Acong, dan Sitorus: Indonesia dalam bingkai "Sahabat Kecil"

24 Januari 2014   10:54 Diperbarui: 4 April 2017   18:29 2984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13905350481657395269

Para pembaca yang seusia penulis pastilah masih ingat dengan iklan yang mencerminkan kebhinnekatunggalikaan masyarakat Indonesia yang diperankan oleh 3 orang anak dari latar belakang yang berbeda. Mereka adalah Joko, Acong, dan Sitorus. Kemungkinan, iklan ini ditayangkan di periode 1990-an, mohon koreksi apabila penulis salah menyebut tahunnya. Cukup lama memang, oleh sebab itu dimaklumi apabila para pembaca yang belum lahir ataupun masih kanak-kanak mungkin belum mengetahui tayangan ini. Filosofi tentang mereka mungkin akan penulis uraikan sejauh apa yang penulis dapat petik dan sejauh penulis mampu mencerna gagasan dalam tayangan tersebut. Berdasarkan penerawangan penulis, ada beberapa hal yang sangat mendasar yang patut kita perhatikan melalui ketiga “Sahabat Kecil” tersebut. Bahwa Indonesia (walaupun ini tidak mutlak) terdiri dari (paling tidak) 3 komponen, yaitu: 1. Joko Nama ini begitu “pasaran” karena saking banyaknya orang yang menggunakannya, mulai dari kuli dan buruh kasar sampai jenderal berbintang-bintang. Tidak percaya? Silakan coba mencari tahu di internet. Bagi penulis, karakter ini mewakili sahabat yang mempunyai latar belakang dari (pulau) Jawa. Apakah itu penduduk Jawa Tengah dan Timur yang lazim menyebut dengan Joko ataupun penduduk Jawa Barat yang menyebut dengan lafal yang sedikit berbeda yaitu, Jaka. Joko atau Jaka ini dapat diartikan melambangkan mayoritas, karena seperti kita ketahui bersama bahwa Jawa merupakan pulau penting di mana ibukota berada dan juga mayoritas penduduk Indonesia ternyata tinggal di tempat yang ‘sempit’ ini, bukan di pulau-pulau raksasa lainnya di wilayah negara ini. Banyak sekali anggapan bahwa dalam kehidupan pemerintahan, apalagi dari sudut posisi Kepala Pemerintahan, haruslah dipegang orang Jawa. Hal tersebut sepertinya salah karena penulis sebagai orang Jawapun tidak sekalipun terbersit untuk mempunyai pola pikir primordialisme seperti itu. Yang mungkin terjadi adalah, karena mayoritas rakyat pemilih di pulau Jawa maka kemungkinan besar adalah orang Jawa yang terpilih. 2. Sitorus Lho, kok tiba-tiba Sitorus, si Acong mana? Naah, penulis mencoba mengubah sedikit posisi supaya lebih enak berpikirnya. Sitorus ini, menurut penulis, mewakili sahabat dari luar pulau Jawa, entah itu Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, atau Papua sekalipun. Memang tidak dipungkiri bahwa satu dan lain pulau tersebut mempunyai keunikan tersendiri dan latar belakang yang sangat beraneka ragam. Namun, apabila diwakili satu per satu, sepertinya layar televisi pun tidak cukup untuk mengakomodasi tiap-tiap wakil. Cukup disederhakan saja tanpa mengurangi nilai keterwakilan tiap-tiap pulau dan suku di luar pulau Jawa. Nah, kebetulan saja, terambil nama Sitorus, yang konon berasal dari daerah Sumatra Utara. 3. Acong

Nah, ini yang ditunggu muncul juga akhirnya. Dengan mendengar kata Acong saja, pasti tiap setiap orang akan langsung terpusat pikirannya dengan tidak punya alternatif jawaban yang lain selain: Tionghoa! Penduduk dari komunitas ini sering dianggap sebagai “non-pribumi” karena mungkin mereka adalah pendatang atau perantauan yang mengadu nasib walaupun hal ini ada benarnya dan ada tidak benarnya. Tidak benarnya adalah bahwa mereka ternyata juga banyak yang sudah mendiami Indonesia lebih lama dari umur kakek buyut kita. Dan tahukan kita bahwa banyak para wali penyebar agama Islam jaman dahulu juga adalah keturunan Tionghoa? Tanya mbah Gugel kalau para pembaca tidak percaya. Memang di sini ada sesuatu yang berbeda apabila kita melihat satu komunitas ini. Bagaimana tidak? Coba lihat warna kulitnya yang hampir pasti lebih terang dan lihat bentuk matanya yang unik dibandingkan dengan penduduk lainnya. Dalam dunia pergaulanpun di berbagai daerah, seringkali kita menganggap mereka sebagai komunitas yang ekslusif. Bisa saja “orang pribumi” menganggap mereka seperti itu karena mereka rata-rata memegang kendali perekonomian dari sektor perdagangan. Dan “inlander” pun menganggap mereka pada umumnya kaya raya. Namun apakah demikian? Saya mendapati fakta bahwa banyak juga komunitas mereka yang hidupnya sederhana, sebagai petani, dan lainya, seperti di Kalimantan Barat.

Ketiga sahabat tersebut tentulah diharapkan oleh pengiklan pada waktu itu untuk kembali menggelorakan persatuan Indonesia. Penulis sedikit gundah karena isu-isu SARA masih saja didengung-dengungkan oleh mereka yang katanya kaum intelektual namun mempunyai pikiran picik bagai katak di bawah tempurung dan di cor semen kemudian ditimpa ubin. Benar-benar menyedihkan. Sebut saja, ... ah sudahlah, penulis tidak ingin menghakimi. Hanya diharapkan bahwa sebagai warga NKRI, patutlah kita kembali ke kearifan lokal yang menjunjung keramahtamahan, ketenggangrasaan, persahabatan, persatuan, dan kesatuan. Itu adalah jatidiri bangsa Indonesia yang diakui oleh dunia. (Duluuu!). Maukah saat ini kita kembali gelorakan semangat itu saat ini? Mengapa penulis teringat akan kisah ini? Baiklah kita melihat keadaan saat ini. Sebentar lagi akan ada pesta demokrasi di negeri kita. Pesta ini oleh banyak orang munafik dan oportunis akan digunakan untuk menggoyahkan dan bahkan meruntuhkan ‘persahabatan sejati’ ketiga “anak bangsa” tersebut. Mereka dengan ambisi dan kepentingan tertentu tak segan-segan untuk memfitnah dan menghujat serta melakukan kampanye hitam. Mereka juga akan menghalalkan metode paling primitif di dalam sejarah peradaban manusia, yaitu menghembuskan isu SARA untuk membangkitkan kebencian, kebuntuan berpikir, dan kedegilan hati. Cukup membuat kita mengelus dada, bukan? Kini kita bisa melihat suatu kenyataan yang menggetarkan jiwa, tidak dipungkiri bahwa (mungkin) dua dari tiga “Sahabat Kecil” tersebut telah menjadi ‘orang’. Coba para pembaca, silakan mencoba untuk menebak! Ya, benar! Si Joko sudah jadi Gubernur dan konon akan menjadi Calon Presiden. Sedangkan si “Acong” menjadi Wakil Gubernur dan konon siap-siap akan menggantikan posisi si Joko sebagai Gubernur. Dan para pembaca juga tahu, bagaimana proses ‘Sahabat Kecil” tersebut menuju posisi tersebut? Mirip dengan apa yang penulis ungkapkan, bukan? Pertanyaan penulis sekarang adalah: Di manakah si Sitorus? Penulis mulai berpikir, dan sejurus kemudian segera ke Terminal Bus. Tidak cukup sampai di situ, kemudian ke Stasiun Kereta Api Pasar Senen. Hal ini tidak lain dan tidak bukan untuk  .... pulang kampung ke Solo, karena akhir pekan adalah waktu untuk keluarga (hehehe). Pun masih tetap menyimpan pertanyaan ini dan meyakini bahwa Sitorus masih tetap sebagai “Sahabat Kecil” yang mengabdikan hidupnya untuk kejayaan bangsa sebagaimana kedua sahabatnya telah membuktikan hal tersebut. Salam Indonesia. Pedjoeang Tjinta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun