Sshhhh...
Sebatang lagi, kulihat merapat erat di bibir tipismu. Lalu berganti dengan gumpalan awan putih yang menyeruak memenuhi meja dan kursi. Sungguh, bila ada seorang yang membawa vape, dia pasti akan malu. Sebab alat elektroniknya kalah telak dalam hal membuat asap tebal!
Hi h h h...
Sebenarnya hendak kulepaskan tawa ini, namun seperti tercekat rasanya, tidak hendak keluar dengan begitu saja. Beth, aku masih saja terpana melihatmu! Lihat kepulan asap, dentingan zippo, lagi, lagi, dan berulang lagi sampai berapa banyak, aku tak mungkin bisa menghitungnya. Kenapa Beth? Kenapa?
Di kejauhan kerlap-kerlip lampu nelayan melayang-layang diatas ombak, layaknya kunang-kunang menari di atas rerumputan hijau. Dibawah terpaan angit laut yang keras mereka sepakat membuat garis-garis zig-zag indah di dalam rana, aku terhenyak.
Sshhhh...
Beth, tak sadar aku lafalkan suara itu, seperti saat melihatmu asyik dengan duniamu! Apakah ini? Mengapa? Bagaimana mungkin kabut tiba-tiba hadir dan berkomplot menyajikan bayangan awan tebal bak asap kretek lintingan tangan? Ada apa? Haruskah aku datang ke dalam sana, maksudku keluar sana, dimana ada seonggok kayu tebal sebagai kursi, sebilah kayu jadi meja, dan sekotak kertas-bungkus kretek di atasnya.
Sebatang lagi, dua batang lagi, tiga batang lagi, sampai angin-angin malam lelah berlari dan hinggap di pangkuan menjadi seonggok perut gendut! Masuk angin Beth! Â Kau hanya tertawa kecil sambil memainkan zippo seperti biasanya. Dan seperti biasanya juga, kepulan asap kembali memenuhi meja, kursi, dan beberapa kaki di depanmu, aku kehilangan visi, pandangan atas tubuhmu! Atau sengaja kau buat itu?
Sudah pukul dua lebih limapuluhlima, layaknya kunang-kunang menari di atas rerumputan hijau, garis-garis zig-zag indah tercekat di dalam rana, ragam bentuk indah tercetak tanpa disengaja, aku terhenyak, terjatuh.
Prangg!