.“Ya, ya ku akui kalau aku mencurinya, mengambil semua yang dipunya, meski...”
“Apa?”
“Ya, meskipun tak sejentik nyamuk pun miliknya hilang setelah kuambil semua”
“Apa?”
“Ya”
Dasar bedebah gila! Umpat Nas. Ditinggalkannya seorang kaya yang pikirnya kini semakin miring otaknya. Mengaku mencuri namun anehnya yang dicuri tidak pernah kehilangan, menyatakan menggunakan barang-barang curian, akan tetapi tak ada yang mengatakan bahwa semua yang dipakainya adalah milik pribadinya (-nya, dia yang dicuri).
“Tapi...”
Nas menghentikan laju sepedanya lalu seakan teringat akan sesuatu yang pasti benar, ya, orang kaya baru itu memang pernah miskin sekali, bahkan lebih miskin darinya yang kini menyandang gelar “Pengacara” alias pengangguran banyak acara.
“Tapi... bagaimana mungkin?”
Sshhh... sebatang rokok tingwe ia hisap sejenak sambil terus mencari kaitan perkataan orang kaya baru dengan tahun-tahun yang telah berlalu. Sebatang pohon besar yang rindang jadi sandaran punggungnya yang letih. Satu, dua sesapan, berirama syahdu dengan detik-detik waktu yang berjalan menuju pukul empat lebih sebelas waktu setempat.
“Ya, ya ku akui kalau aku mencurinya, mengambil semua yang dipunya, meski...”