"Jane, kau adalah siapa-siapa, bukan ketiadaan melaka, bagiku kau adalah bunga di antara gemerlap riang-ria, tanpa seorang pun yang peduli pun menyapa. Itulah kau Jane, iya, begitulah...," rayu Lorem.
So, baby, surrender to me.
There'll be no holding back now.
So, baby, surrender to me tonight.
So, baby, surrender . . . *
Jane makin hanyut, tak tahu lagi bagaimana lepas dari bergayut, sebait lagu lama dari Richard Marx berujudul Surrender to me makin membuatnya gelisah, tak ingin segera berlalu dan berpisah, oh inikah cinta dan awal sebuah kisah? Gumamnya.
Tring.... gelas-gelas kembali beradu, membawa kesadaran Jane kembali, juga aroma-aroma keletihan hari kerja ke tempat sampah. Tawa-canda pun menyeruak perlahan seakan menertawakannya yang berlaku sangat bodoh. Jane kembali terdiam membisu di ujung koridor kafe, menimang-nimang secangkir kopi beraroma coklat dari Indonesia Timur, pukul duapuluh empat sudah menghimpit, seperti kejadian tak enak, saat beberapa saat yang lalu tiba-tiba seorang pramusaji membisikinya dengan sebuah kalimat dahsyat yang membuat sang Pangeran pergi dengan pengawalan dua orang berseragam putih,
"Maaf miss Jane, Lorem ini adalah pasien rumah sakit jiwa yang kabur, maaf, sekali lagi maaf, ia memang romantis, namun ia gila, maaf, apakah dia sudah melukai Anda?"
So, baby, surrender to me.
There'll be no holding back now.
So, baby, surrender to me tonight.