[caption caption="copyright by bb p"][/caption].
.
.
Duh aku tertampar sehelai pawana. Riak-riak sunyinya berlari menjauh, mengaduh dengan riuh, seperti mendapati diri dalam ketakutan yang sangat!
“Hari ini ada lagi yang mati, Nek!”
“...ini ada lagi yang mati nek!”
Duh, Sang Ilahi, apa yang akan terjadi dengan rentetan peristiwa esok hari? Bukankah semua simpul saling berhubungan satu sama lain dalam algoritma kehidupan-Mu? Ah.. tak jadi ku buka jendela itu, lalu dengan ragu-ragu kubangunkan raga, menapaki lantai yang kasar penuh debu, mencoba mengajak raga bergerak maju membuka pintu.
“Ada seribu pintu keluar, Nek!”
“Mana yang akan kau pilih?”
“Bagaimana bila ada lagi yang mati?”
“Hah?” tersentak aku bangun dari mimpi. Sebuah kebenaran yang menyeruak dengan pilu hadir bersama hangat sinar mentari pagi. Sambil mengusap mata yang masih merah karena gundah, aku merapatkan pendengaran, seribu raungan motor besar terdengar di jalan raya! Sejuta keparat memepet pejalan raya! Demi sebuah kata: raungan sirine tanda kuasa!
“Whathehell!”
“Brak!”