yang mulai enggan berpendar menyapu angkasa biru
Kafe itu masih ada di sana Pet (Peter), berdiri dengan kokoh, anggun, dan selalu membuatku teduh. Sama seperti dirimu, yang selalu menyihir mulutku agar terkunci, lalu gagu, dan salah tingkah selama beberapa menit lamanya. Satu yang kini membuatnya tampak beda adalah kau, kau yang sudah tak ada di sini, meskipun aku masih dapat merasakan keteduhan itu.
Hari ini tepat lima puluh empat hari sejak terakhir aku bertemu denganmu, dan aku ingin sekali 'tuk sejenak mengulang peristiwa itu, meski tanpa kamu. Di sini Pet, di meja ini, di bangku ini, yah, persis sama seperti saat itu, waktu 'ku bisa berdua denganmu. Wajahmu sungguh memesonaku, hingga tak terasa aku terus saja melamun tanpa menyenduk sedikit pun nasi dan lauk, lalu tersadar dengan muka memerah saat kau kagetkan aku,
“Hei, hayoo.. nglamunin siapa hayo?”
Klinting
“Eh ih. Eh enggak kok..”
“Hi.. hi.. hi..”
Duh Pet, tawa kecilmu itu, sungguh beda sekali dengan tawa pria lain. Aku tak tahu mengapa, namun tiap kali ku dengar tawa kecilmu, dunia seperti dijatuhi dedaunan musim semi yang teduh sekali dan buatku semakin betah untuk berlama-lama denganmu.
Oh, iya ini aku bawa sekantung kecil khayalan yang akan aku buang ke dalam es teh manis yang sudah tersaji. Lusa bila kau menemukan catatan kecil ini, yang jauh dari sebuah surat yang indah dan romantis, aku mohon simpan dan bacakan untukku ya? Bukan sebuah permintaan yang berat kan? Ah sudahlah Pet, aku tak mau berlama-lama lagi, es teh manis ini sudah lama kuaduk dan siap kutenggak dengan penuh kelegaan.