Nge "vlog" buat channel YouTube Aryo Djendra sembari jalan2 sehat pagi2 lagi yang sebenarnya sudah beranjak siang meninggalkan Dhuha, menitipkan kendaraan di parkiran depan Museum Wiratama Pangeran Diponegoro Tegalrejo kota Jogjakarta. Langsung kaki melangkah penasaran mengarah ke dalam museum yang pernah jadi kediaman tokoh pahlawan Jawa melawan kesewenangan Hindia Belanda tahun 1800 an awal, sang Pangeran Diponegoro. Terpampang tertulis didepan atas pintu masuk tulisan "Pendopo Pangeran Diponegoro".
Masuk ke dalam halaman museum Wiratama (museum P. Diponegoro) di Tegalrejo Jogja, suasana adem sejuk dengan pohon2 rindang, langsung menyambut bangunan pendopo Joglo besar yang sering dipakai untuk disewakan acara "jagong manten", sempat ada dua kali kami mendapat undangan syukuran manten di pendopo ini.Â
Sempat membaca tulisan museum "closed" berarti untuk hari ini museum Diponegoro tutup, tapi tidak membuat langkah penasaran keliling kediaman pangeran Diponegoro yang rindang terhenti, semakin masuk ke dalam mengelilingi Joglo utama melihat sepasang bongkahan tempat makan kuda berbentuk oval dari batu kali andesit di posisi pojok depan kanan, sekilas langsung menebak bebatuan dari zaman prasejarah manusia purba, yang langsung terbantahkan dan membuat malu karena salah tebakan dari keterangan tertulis di depan nya.
Memutar kebelakang Joglo tetap rindang nyaman dengan pepohonan nya, tertuju mata pada sebuah tembok yang dijebol paksa dan menjadi icon di Pendopo Pangeran Diponegoro ini, sebuah tembok yang menjadi satu bab dengan cerita sejarah peperangan pangeran Diponegoro, tembok yang dijebol langsung oleh sang pangeran disaat kediaman beliau dikepung tentara Belanda, untuk menyelamatkan keluarga dan pengikutnya dari tangkapan tentara Belanda, di awal peperangan Jawa 1825 - 1830.Â
Sejarah mencatat peperangan Diponegoro menjadikan negeri Hindia Belanda pada saat itu hampir bangkrut karena biaya yang besar untuk mendukung peperangan, perang yang diakhiri dengan pengkhianat dengan tertangkapnya sang pangeran. Peperangan yang dikenang dan ditiru jiwa kepahlawanan pangeran Diponegoro untuk melawan kesewenang wenangan suatu bangsa untuk menjajah.
Keluar dari museum Wiratama kami menyusuri jalan aspal ke selatan menyusuri perkampungan Tegalrejo melintas rel kereta api menyapa sopan beberapa ibu2 di teras rumah yang juga ramah balik membalas sapaa. Keluar jalan besar HOS Tjokroaminoto, satu jalan di kota Jogja di barat Malioboro, di pertigaan rumah makan kuliner Thailand "Puket", kembali mengarah ke Utara untuk kembali lagi ke arah museum Wiratama dengan melintas kantor2 besar perusahaan ekspedisi pengiriman barang yang berjejer dengan kesibukan packing para karyawan nya.Â
Setelah melintas kembali rel kereta api, melintasi kuliner legendaris Sop Buntut Pak Sugeng dan Soto Pak Sholeh Tegalrejo yang hampir bersebelahan satu sama lain dipisah oleh rumah makan khas sate Maranggi dengan asap bakarannya yang menggoda melambai untuk dikunjungi, sepanjang jalan HOS Tjokroaminoto menawarkan banyak kuliner menggugah selera perut untuk diisi.
Disapa patung gagah Pangeran Diponegoro berwarna putih gading dengan membawa keris yang terhunus, seperti menyapa dan salam kepada setiap orang yang melintas keluar dari jalan HOS Tjokroaminoto masuk jalan Wiratama, jalan menuju kediaman sang Pangeran yang bernama harum di setiap kota sebagai nama jalan di seluruh Indonesia sang Pangeran Diponegoro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H