Mohon tunggu...
Sa'id Djazuli
Sa'id Djazuli Mohon Tunggu... -

Pribadi yang masih membutuhkan dedikasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Masyarakat Madani

8 Februari 2015   11:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:36 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

Kesejahteraan sosial mulai terganggu ketika orang mulai meneriakkan this is mine!,[1] demikian kata Rosseau. Kesejahteraan sosial dewasa ini masih menjadi bahasan kontekstual dalam wacana membangun sistem sosial yang baik pada konteks tata negara maupun pada tataran komunitas tertentu, hal ini biasanya dipicu oleh berbagai kesenjangan social di mana-mana yang tentunya masih actual dibicarakan diberbagai negara, tak terkecuali media yang selalu meng-update perihal kesenjangan sosial setiap harinya, mulai dari hal yang paling elementer hingga konflik-konflik besar, dari yang regional hingga internasional yang kerap kali mengundang saraf-saraf tubuh menjadi tegang dan emosi namun juga terkadang melankolis. Memang begitu adanya isi tentang kehidupan manusia yang tak lebih hanya ingin hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) namun apabila gagal yang terjadi adalah tercerai-berainya suatu relasi sosial yang berpotensi pada eksklusivitas lapisan-lapisan masyarakat yang terpetak-terpetak dan pada gilirannya akan muncul ke permukaan sebagai kelompok yang mengedepankan egonya masing-masing.

Secara konstitusi di setiap negara sudah tercantum mengenai kesejahteraan masyarakat dalam bernegara, namun juga tidak banyak sukses membangun tata kepemerintahan yang baik (good government) serta tata kelola yang baik (good governance) lantaran terdapat banyak kendala yang menjadi penghambat bagi majunya suatu negara, termasuk yang telah disebutkan di atas. Juga bisa jadi koneksitas antara pemimpin dan masyarakat tidak tuntas dalam arti tidak sensitive terhadap fenomena yang dirasakan masyarakat atau bahkan juga tidak jarang para pemimpin memilih untuk bungkam dan apatis terhadap opini-opini public yang dirasa tidak penting. Memang kerap kali kebijakan-kebijakan pemerintah tidak separalel dengan ide-ide public namun jika hal itu terjadi pada negara yang menganut paham demokrasi[2] maka seyogyanya keputusan mayoritas lebih berhak ditempatkan paling depan. John Locke mengatakan apabila negara tidak mampu menyejahterakan warganya, maka sah hukumnya apabila warga tidak mengindahkan negara, bahkan bila perlu memberontak dan menjatuhkan pemerintah[3]. Ini mengindikasikan bahwa negara bangsa (nation state) lebih mementingkan kepada kemaslahatan public yang notabene lebih dominan dalam segala aspek serta mempunyai hak-hak sebagai warga negara yang seharusnya dipenuhi bukan kepada kepentingan-kepentingan pejabat kerah putih yang dewasa ini masih sering melakukan pembangkangan (dis obedience) terhadap negara dengan berbagai motif kejahatan yang dilakukannya. Maka jika hal itu terjadi bukan disebut sebagai negara bangsa melainkan negara otoriter yang represif.

MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI

Desas-desus seputar tentang masyarakat madani merupakan gagasan yang muncul dari seorang mantan perdana menteri Malaysia yakni Anwar Ibrahim, kemudian baru berhembus di Indonesia pada tahun tujuh puluhan yang dibumingkan oleh para aktivis mahasiswa ketika masa orde baru berlangsung. Namun dalam perspektif Barat gagasan ini lebih dikenal dengan sebutan “Civil Society” yang sering diperdebatkan oleh para pemikir dan tokoh dengan berbagai macam pengertian, akan tetapi muaranya sama yaitu mengerucut pada konteks pembangunan sistem sosial yang maju dan beradab seperti dalam sejarah kebudayaan Islam pada masa periode madinah. Kronologi sejarahnya pra-Islam bermula dari tradisi dan kondisi sosial yang masih kental dengan sukuisme sebagaimana kultur bangsa arab lainnya. Pra masa hijrah nabi ke kota Yastrib, kota itu merupakan daerah yang memiliki oase-oase yang terbilang subur, tingkat perekonomiannya yang cukup bagus, namun dalam sistem sosialnya masih belum terintegrasi dengan baik.

Hal itu dilatar belakangi oleh tidak adanya seorang pemimpin di kota tersebut, hanya merupakan tempat yang tak lebih sebagai akses dari kepentingan-kepentingan klan dalam berdagang termasuk dominasi suku-suku dari bangsa Yahudi (Bani Quraizah, Bani Nadir dan Bani Qainuqa) pada waktu itu yang menguasai pasar perekonomian dan politik sehingga penduduk Yastrib sendiri berada di bawah tekanan regulasi suku-suku bangsa Yahudi, hal itu berjalan cukup  lama. Keterkungkungan penduduk setempat yang tidak dapat berkembang, namun selang beberapa tahun kemudian dominasi suku-suku Yahudi mulai terusik sejak kedatangan suku Aus dan suku Khazraj yang menjadi saingan dalam perebutan tempat-tempat yang vital dalam sector perekonomian, situasipun mulai tidak kondusif, ketegangan antar dua kubu terus berlangsung, intrik-intrik mulai dimainkan oleh suku-suku Yahudi untuk memecah belah dua suku dari bangsa arab tadi hingga pada puncak klimaksnya terjadi dalam Perang Bu’as pada tahun 618 M[4].

Singkat cerita, pada musim haji nabi menjumpai rombongan orang-orang dari suku Khazraj di perkemahan mereka pasca peristiwa konflik di Yastrib, kemudian nabi menemuinya dan memperkenalkan ajaran-ajaran Islam yang sebelumnya tidak dikenal di kota Yastrib, peristiwa tersebut sekaligus menjadi faktor awal dari sejarah hijrahnya nabi serta ekspansi Islam ke kota Yastrib yang dimulai dari pembangunan sistem sosial ukhuwah islamiyah yang disertai dengan toleransi yang tinggi kota Yastrib menjadi lebih maju dan menjadi pusat pendidikan dakwah Islam serta menjadi pemantik bagi tersebarnya Islam di seluruh jazirah Arab yang kemudian dilanjutkan oleh para khulafa’ur rasyidun. Itulah peran nabi dalam membangun ikatan sosial di kota Yasrib yang dapat mengubah tekstur kebudayaan madinah lebih beradab. Kemudian kita sebagai umatnya tinggal mengambil i’tibar dari sejarah singkat peradaban madinah dalam konteks jepitan kebudayaan modern dewasa ini yang rentan dengan berbagai destruktifitas.

Terutama Indonesia yang kita tempati saat ini, negara yang terkenal dengan keragaman suku dan budayanya, sama seperti bangsa-bangsa di jazirah arab yang heterogen namun yang membedakan hanya letak geogafisnya yang lebih berada pada daerah tropis. Konon negeri ini adalah cipratan dari surga yang bocor yang ditandai dengan tingkat kekayaan alamnya yang luar biasa, tekstur wajah alamnya yang eksotis yang menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan dunia, kemudian sektor perekonomian yang bagus baik dalam sektor agragis maupun maritim sama-sama memadai. Namun itu semua hanya cakap dalam diskursus saja, substansinya hingga saat ini tidak dapat menciptakan tata kelola dan kepemerintahan yang maju sejak kepemerintahan orde baru sampai era reformasi saat ini.

Padahal dari tinjauan sejarah juga tidak kalah pamor dari bangsa-bangsa yang lain bahwa negeri ini pernah mengalami masa lalu yang prestisius dalam kurun waktu yang lama namun prestasi masa lalu bukan patokan untuk menuju kesuksesan di masa yang akan datang seperti yang dikatakan John Maxwell dalam bukunya “The 21 Irrefutable Laws of LeadershipSeberapapun banyaknya anda belajar dari masa lalu tidak akan cukup untuk menghadapi masa yang akan datang, akan tetapi terasa aneh jika seorang idealis berpikir bahwa faktor genetik kejayaan nenek moyangnya tidak dapat terbangun kembali, entah ini semua faktor mental ataukah terbuai dengan kejayaan masa lalu. Achmad Dhofir Zuhry[5] juga pernah mengatakan dalam sesi diskusi filsafat “boleh anda sejenak menoleh ke belakang namun jika terlalu lama anda akan ditabrak oleh yang di depan” dalam gelombang kebudayaan modern. yang jelas sejarah hanyalah sejarah yang kata Ibnu Khaldun merupakan siklus periode dan kekuasaan masa lampau[6] yang tidak akan mungkin terjadi kembali apabila tidak ada semangat dan orientasi yang jelas dari generasi selanjutnya.

Slogan perubahan selalu didentumkan setiap pesta demokrasi lima tahunan dimulai, namun dari sederet pergantian presiden hingga saat ini belum ada yang bisa menciptakan kesejahteraan rakyat atau paling tidak mengurangi angka kemiskinan. Slogan perubahan memang membosankan dan rakyat kerap kali frustasi dengan kelakar para pemimpin karena sering mengalami kegagalan namun seharusnya pemimpin bisa membaca celah dalam merombak system atau kebijakan-kebijkannya sehingga tidak menyebabkan rakyat phobia terhadap perubahan. Prof. Rhenald Kasali (seorang guru besar UI fak. Ekonomi) menjelaskan dalam konsep “The Burning Platform” (sebuah konsep dalam ilmu manajement), perubahan memang kerap kali membuat orang phobia disebabkan sering gagal dan lain sebagainya ,namun jika perubahan itu menemukan sedikit celahnya maka perubahan secara massif akan sukses. Konsep ini di ilustrasikan dalam sejarah ekspedisi Islam yang di tokohi oleh Thariq bin Ziyad dalam pelayarannya ke Spanyol melalui selat Gibraltar bersama para pasukannya namun setelah sampai tujuan para pasukan heran dengan tindakan aneh yang dilakukan oleh sang panglima, ia membakar semua kapal yang ditumpanginya sembari berkelakar; di mana jalan pulang? musuh sudah di depan mata dan di belakang kalian lautan, sekarang yang tersisa hanyalah pedang yang kalian bawa, mau tidak mau gunakan pedang kalian untuk mempertahankan hidup. Dari ilustrasi tersebut bagaimana seorang pemimpin dapat mengubah kondisi secara psikologis dan mental serta power determinasi yang tinggi, yang pada awalnya dililit oleh rasa takut yang hebat kemudian menjadi pemberani.

Lantas bagaimana jika konsep tersebut dapat dijadikan satu epistimologi untuk membangun masyarakat yang madani, masih relevankah dalam praktek tata negara yang notabene beda konteks dengan ilustrasi yang di atas? Jawabannya adalah relevan meski konteksnya berbeda namun secara strategi sama yaitu mengubah situasi dan kondisi dalam mencapai kesuksesan. Jika di ilustrasikan negara sebagai bahtera kapal dan pemimpin adalah nahkodanya maka tinggal bagaimana sang nahkoda membuat penumpang tidak phobia ketika ancaman gelombang besar datang serta meyakinkan/dapat menjamin penumpang untuk sampai pada tujuan. Meski demikian hal ini tidak lantas berjalan dengan mulus dengan kondisi negara seperti di Indonesia yang terbilang mempunyai data blacklist dalam berbagai kasus internal seperti kasus-kasus penjahat kerah putih (white collar crim) yang tak ada jeranya dengan menggelapkan uang-uang negara, kemudian belum lagi deretan penyakit-penyakit sosial lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun