Kadang saya merasa hidup ini terlalu serius, terlalu berat. Baik untuk sekadar dipikirkan, apalagi dijalani. Why so serious? Begitu kata Joker, yang meski kalimatnya jadi salah satu yang saya sukai, tapi sosoknya kurang begitu saya minati. Saya masih lebih suka dengan Ksatria Baja Hitam...
Setelah mempertanyakan hal-hal 'ngga penting' seputar film animasi Upin & Ipin, entah kenapa saya jadi semakin suka bertanya tentang hal-hal yang menurut saya penting, tapi bisa jadi konyol untuk orang lain. But trust me, I'm not a commedian. Tidak ada yang lucu. Serius. Saya bukan orang yang suka bercanda... Tidak suka bercanda, dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Waktu semalam pergi untuk beli air minum isi ulang, tepatnya; menukarkan 10 lembar kupon gratis dengan sekitar 19 liter air yang konon bisa langsung diminum tanpa melalui proses perebusan, tiba-tiba dalam pikiran saya muncul satu pertanyaan setelah melihat 2 pedagang bakso keliling. Soal bakso atau 'door to door marketing'? Bukan. Tapi soal telor.
Ada banyak jenis telor, lengkap dengan berbagai macam ukuran dan warnanya. Soal khasiat? Maaf, saya bukan tukang obat, apalagi obat kuat... Itu terlalu serius buat saya. Out of my mind. Dan camkan baik-baik, saya bukan pelawak. Saya mau bicara soal telor.
Pertanyaan pertama yang menurut saya paling mendasar soal telor; kenapa telor ayam berwarna kecokelatan dan kenapa telor bebek warnanya biru? Tidak semua telor ayam berwarna kecokelatan, atau cokelat muda, atau mungkin ada juga yang melihatnya berwarna kuning langsat (kuning langsat, bukan kuning bangsat). Setiap orang akan melihat warna yang berbeda, tergantung dimana dia melihatnya, kondisi cahaya, juga kondisi kesehatan matanya.
Jaman era tahun 1970, semua telor, baik telor ayam maupun telor bebek berwarna abu-abu. Itu kalau kita melihatnya di siaran TVRI era tahun 1970, dimana mayoritas pesawat televisi masih hitam putih. Dan semua telor berwarna agak kehitaman sekalipun di era teknologi seperti sekarang, kalau kita melihatnya dalam selembar gambar hasil cetak mesin fotokopi hitam putih. Semua tergantung kapan dan dimana, karena hidup memang tidak pasti.
Tapi serius, kenapa telor ayam, tepatnya ayam ras, berwarna kecokelatan dan telor bebek berwarna kebiruan, sedangkan telor ayam kampung warnanya keputihan. Ingat, warna keputihan, bukan 'pektay' penyakit keputihan. Kita bicara soal warna, warna telor. Bukan yang lain. Tapi bukan cuma soal warna, juga bentuknya yang berbeda.
Saya bukan peternak ayam maupun bebek, juga bukan insinyur perternakan, bukan mantri hewan, bukan pedagang ayam atau bebek maupun telornya. Saya cuma bertanya saja...
Kenapa telor ayam ras warnanya kecokelatan, kenapa telor ayam kampung berwarna agak putih dan lebih kecil dari telor ayam ras? Apakah karena ayam kampung minder dengan ayam ras yang diternakkan dalam komplek peternakan? Karena minder itu, ayam kampung jadi stress dan telornya jadi kecil.
Lalu, kenapa telor bebek warnanya kebiruan, lebih besar dan sedikit lebih bulat meski tidak bulat-bulat amat? Padahal bulu bebek secara umum berwarna putih atau hitam, kenapa telornya tidak berwarna abu-abu? Dan, sampai sekarang pun saya masih tetap bertanya; kenapa Desi, pasangan Donal Bebek, tidak pernah bertelor... Apakah Desi Bebek mandul?
Tapi ternyata perbedaan warna dan ukuran telor membawa dampak lain terhadap telor-telor tersebut. Saya menyebutnya diskriminasi telor. Coba anda pergi ke warung atau rumah makan, cari telor asin. Selalu yang akan anda dapatkan adalah telor bebek. Kenapa hanya telor bebek yang dibuat telor asin? Kenapa telor ayam tidak? Padahal untuk jamu dan martabak, kedua jenis telor itu digunakan dan diperlakukan sama rata sama rasa, tidak ada diskriminasi dan penelor tirian.