Pada tahun 2023 terdapat kasus perundungan yang dilakukan oleh 2 siswa dari SMP Negeri 2 Cimanggu yang berinisial MK (15) dan WS (14) terhadap salah satu teman sekolahnya yang berinisial FF (14). Video amatir pada saat pelaku melakukan perundungan sempat mejadi buah bibir. Pada bulan September 2023, Polresta Cilacap menetap kan MK (15) dan WS (14) sebagai tersangka atas tindak pidana kekerasan terhadap anak dibawah umur. Mereka berdua dijerat menggunakan Pasal 80 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, dengan ancaman hukuman 3,5 Tahun serta Pasal 170 KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara.
Berdasarkan Oxford English Dictionary, perundungan atau bullying adalah penggunaan kekuatan atau kekuasaan untuk menakut-nakuti atau melukai orang yang lebih lemah. Faktor dari terjadinya sangat beragam, salah satunya yaitu kebencian atau ketidaksukaan terhadap suatu individu atau kelompok. Perundungan dapat dilakukan dimana saja dengan platform yang beraneka ragam dan yang paling banyak terjadi pada masa kini yaitu terjadi pada platform digital khususnya media sosial. Namun tidak adanya pembatasan pertimbangan baik ataupun buruk dalam berkomentar menjadi awal penyalahgunaan media sosial di era ini (Ningrum, 2018).
Menurut riset Digital Civility Index yang dilakukan oleh Microsoft pada Mei 2020, Indonesia menempati urutan nomor satu sebagai negara paling toxic se-asia pasifik dalam bermedia sosial. Tercatat 24% warganet mengalami perilaku tidak sopan di media sosial setiap minggunya, angka yang cukup memprihatinkan untuk sebuah negara yang menjunjung nilai-nilai ketimuran. Hasil riset juga mengatakan jika 23 % warganet mengalami hate speech atau ujaran kebencian saat mereka menggunakan sosial media. Selain itu, hal yang paling menyedihkannya yaitu 48% pelaku cyberbullying merupakan orang asing di mana sebenarnya para pelaku hanya mengetahui tentang korban melalui media sosial.
Perundungan tidak hanya dapat terjadi di media digital. Namun, di tempat yang seharusnya menjadi wadah untuk membentuk para penerus bangsa menjadi manusia yang lebih beradab malah justru menjadi tempat yang subur untuk pelaku perundungan berkembang. Dari data yang dilansir dari riset yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang tahun 2020 hingga 2023, tercatat ada 398 kasus perundungan terhadap anak di sekolah dengan angka tertinggi tecatat hingga menyentuh angka 226 kasus per tahun, yaitu pada tahun 2022. Angka tersebut cukup memprihatinkan karena para orang tua siswa mempercayakan anaknya untuk dididik di sekolah dengan harapan anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang layak.
Bullying merupakan tindakan merendahkan seseorang baik secara fisik maupun psikis yang dapat dilakukan secara verbal ataupun fisik. Perundungan secara verbal meliputi kata-kata kasar, cacian, dan makian, sedangkan perundungan fisik merupakan perundungan yang sudah memasuki fase penganiayaan seperti menendang, memukul, dan tidakan penganiayaan lainnya. Perundungan biasanya terjadi pada kaum yang lebih minoritas dilingkungannya karena keminorintasan itu dipandang sebagai sebuah kelemahan oleh para pelaku perundungan.
Menurut Rigby (2007:47-57) dampak psikologis dari perundungan adalah harga diri, dikucilkan, ketidakhadiran, reaksi emosional, efek domino, dampak dalam pendidikan dan bunuh diri. Contohnya seperi yang terjadi pada anak berinisial MR (11) dari Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur yang melakukan bunuh diri. Pihak kepolisian menyebutkan jika motif bunuh diri yang dilakukan MR adalah depresi akibat dari perundungan yang terjadi pada MR. Menurut Kasi Humas Polresta Banyuwangi Iptu  Agus Winarno mengatakan korban mengalami perundungan dikarenakan korban merupakan seorang anak yatim, pernyataan tersebut didasari oleh keterangan dari pihak keluarga korban yang mengatakan jika korban kerap kali mengeluh setelah pulang sekolah karena korban diolok-olok oleh teman-temannya karena korban merupakan anak yatim. Selain dampat psikologis, perundungan juga dapat berdampak pada kesehatan fisik seseorang, seperti pada kasus perundingan yang terjadi di Sumatera Barat ketika beberapa siswa melakukan penganiayaan terhadap teman sekolahnya dengan cara dipukul hingga ditendang pada bagian kepala korban, tidak hanya merundung secara fisik, para pelaku bahkan melakukan ancaman pembunuhan pada korban. Dari kedua kasus tersebut, kita bisa menyimpulkan jika pembullyan baik secara fisik maupun verbal memiliki efek yang sangat berbahaya, dari luka-luka hingga bunuh diri.
Dengan seluruh penyebab dan dampak dari perundungan, pemerintah sudah seharusnya mengambil peran dalam penyelesaian masalah perundungan ini. Pemerintah dapat mengambil langkah represif dalam menangani maraknya perundungan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik jika perundungan terjadi di sosial media dan  Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi "Dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak" untuk perundungan yang terjadi pada anak-anak.
Selain melalui langkah represif, masyarakat dan pemerintah juga dapat berkolaborasi untuk melakukan langkah-langkah preventif seperti sosialisasi tentang pentingnya santun bersosial media, menyadarkan masyarakat tentang adanya undang-undang yang mengatur bagaimana seorang warga negara dapat menggunakan sosial media dengan tepat dan benar, dan yang paling terpenting yaitu kesadaran diri sendiri untuk mengendalikan diri agar tidak melakukan perundungan baik verbal atau fisik dan baik secara langsung maupun melalui media sosial, karena seluruh tindakan preventif tadi tidak akan berguna jika dari diri setiap individu tidak memiliki kesadaran dan tanggung jawab akan bagaimana penggunaan sosial media yang tepat dan benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H