Keinginan untuk sehat dan sembuh dari berbagai penyakit mendorong orang mendatangi  para dokter di puskesmas-puskesmas, klinik-klinik, rumahsakit-rumahsakit, dan praktek pribadi. Yang diinginkan seorang pasien: diagnose dan obat dokter yang pas sehingga sembuh dari penyakit. Kenyataannya, seringkali  harapan pasien tidak terwujud. Tidak sembuh berobat pada seorang dokter, biasanya pasien mencari dokter lain yang lebih senior bahkan ada juga yang mencari pengobatan alternatf seperti  tabib dan sinshe.
Perbedaan diagnosa dokter sungguh mengherankan karena ilmu yang digunakan adalah sama yaitu ilmu pengobatan yang sudah terdata. Ada gejala-gejala awal yang membuat dokter sampai pada kesimpulan tentang penyakit yang diderita pasien dan memberi obat yang tepat. Seorang pasien yang diperiksa dua dokter berbeda, seharusnya punya diagnosa yang sama, mengambil tindakan dan memberi obat yang sama pula. Tahun 1980 ada seorang PNS memeriksa paru-paru pada seorang dokter di Jl. Biak Jakarta. Hasil rontgen menunjukkan, ada vleg di paru-paru, sehingga harus berobat dulu. PNS tersebut memeriksa kesehatan paru-paru dalam rangka tugas ke negeri  Kincir Angin. Merasa tidak ada keluhan di paru-parunya, sang PNS membawa hasil rontgen dari dokter di Jl. Biak ke dokter paru-paru senior,dr. Noor di Jl. Raden Saleh, Cikini Jakarta. Hasilnya: tidak ada masalah alias sehat. Dengan rekomendasi dari dr Noor, sang PNS jadi juga berangkat ke negeri Kincir Angin. Tahun 1995, PNS yang sama berobat ke seorang dokter di kawasan Kedoya, Jakarta Barat. Ia menderita sakit pinggang, sehingga susah berdiri dari duduk. Setelah memeriksa, dokter memberi obat disertai penegasan: pasien kena darah tinggi. PNS yang berobat di Kedoya itu sedang bertugas di Jakarta dari tempat tugas tetapnya di Singaraja, Bali. Merasa tidak punya riwayat darah tinggi, sang PNS mendatangi dokter langganannya di Singaraja. Hasil pemeriksaan, tekanan darah normal, tidak ada gejala darah tinggi.
Akhir-akhir ini banyak keluhan masyarakat atas tindakan dokter  di klinik-klinik tertentu yang dinilai tidak sesuai dengan  keadaan penyakit seorang pasien. Misalnya pasien yang mengalami gangguan pencernaan sehingga merasa ‘tidak enak badan’ tiga hari dan kehilangan selera makan oleh dokter ‘dicurigai’ kena DBD. Untuk itu perlu periksa darah dan ‘observasi’ (rawat inap satu malam}. Padahal, tekanan darah dan suhu badan berada dalam kondisi normal. Tiga hari kemudian, sang pasien melanjutkan berobat ke dokter yang lebih senior di LA. Alhamdulillah, dengan menyuntik dan memberi obat-obatan, pasien tersebut sembuh dari rasa ‘tidak enak badan’ dan selera makannya normal kembali.
Tantangan bagi para dokter di mana pun bertugas untuk menjadi dokter yang paten dengan biaya standar, tanpa tambahan untuk periksa darah, rontgen yang sebetulnya tidak perlu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H