Belum banyak masyarakat yang tahu bahwa tanggal 13 Pebruari adalah Hari Radio Sedunia. UNESCO dalam peringatan kali ini mengusung tema 'Radio Dan Perdamaian'. Menurut UNESCO, radio bisa membuat narasi yang menyejukkan dan mendorong perdamaian, sebaliknya bisa juga memanaskan situasi dan meningkatkan konflik. Berkaitan dengan tema, tentu saja insan radio dituntut kemampuannya untuk membuat narasi yang membangun saling pengertian dan kerjasama antar negara. Ini bisa dilakukan melalui acara-acara seni dan budaya. Sedangkan menyangkut berita tidak ada pilihan kecuali menyiarkan berita yang objektif dan berimbang.
Sejumlah pendengar, termasuk dari Dewan Pers melalui acara interaktif pro 3 RRI berpendapat bahwa radio masih diperlukan keberadaannya ditengah-tengah gempuran sosmed sekarang ini. Dalam menyiarkan informasi harus senantiasa memegang teguh kode etik jurnalistik, punya data dan fakta yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian RRI akan menjadi media terpercaya dalam menyampaikan berita yang benar. RRI harus memanfaatkan keunggulan radio sebagai media tercepat dalam menyampaikan informasi. Jangan terulang lagi peristiwa kerusuhan di Semarang tahun 1979, justru BBC yang pertama menyiarkannya.
Untuk memelihara keberadaannya, banyak hal yang harus diperhatikan agar segala sesuatunya berjalan lancar, terutama perangkat teknik. Seorang pendengar di Papua mengeluh karena pro 3 di tempatnya terdengar hilang-hilang timbul. Untuk mengatasi hal tersebut RRI harus melakukan riset secara menyeluruh. Pertanyaannya, apa stasiun-stasiun RRI di seluruh Indonesia dapat menjangkau pendengar di wilayah yang menjadi sasaran siaran stasiun radio tersebut? Apa pro 1, 2, dan 4 terdengar di Pulau Seribu?
Dalam memperingati Hari Radio Sedunia, para insan radio baik RRI maupun Non RRI harus memperbaharui tekad untuk meningkatkan kualitas siar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H