Kementerian Agama RI pada 18 Mei lalu mengeluarkan rekomendasi untuk 200 ustadz/muballigh. Dengan begitu masyarakat, lembaga-lembaga, mesjid-mesjid yang memerlukan penceramah agama termasuk khatib shalat Jum'at, mudah memilihnya. 200 ustadz/muballigh itu sudah diteliti Kementerian Agama dari segala segi, terutama penguasaan materi-materi yang disampaikan kepada masyarakat luas.
Setuju dan tidak setuju muncul dikalangan masyarakat karena setiap ustadz/muballigh dianggap sudah mampu untuk berdakwah dan berkhutbah. Yang tidak setuju menilai, rekomendasi Kementerian Agama itu menunjukkan seolah-olah selama ini ada ustadz/muballigh yang kurang pas dalam menyampaikan dakwahnya.Â
Yang setuju menilai, memudahkan masyarakat untuk mencari ustadz/muballigh tanpa mencari-cari ke sana ke mari. Diantara ustadz yang direkomendasikan minta namanya dicoret saja dengan alasan rekomendasi Kemenag itu dapat memecah para ustadz. Ada pula ustadz yang tidak direkomendasikan, malah menyatakan tidak memerlukannya karena ia sudah dipesan/dijadwal oleh pelbagai mesjid/lembaga sampai dengan tahun 2020.
Masalahnya memang terletak dalam upaya menampilkan ustadz yang benar-benar kompeten, sehingga tidak membingungkan masyarakat. Ada ustadz yang mengemukakan sesuatu yang selama ini belum terdengar, misalnya bahwa Nabi Adam diampuni Allah dosanya setelah mengucap dua kalimat syahadat yang menyebut nama Muhammad SAW.Â
Ada pula ustadz yang menyatakan haram seseorang sedang shalat memikirkan sesuatu selain Allah, misalnya suara tamu yang memberi salam. Padahal Nabi Muhammad sendiri sengaja shalat pelan-pelan agar cucunya yang sedang berada dipunggungnya tidak terjatuh. Berarti memikirkan cucunya selagi shalat. Ada pula ustadz yang mengajak penonton bersalawat 10 kali agar keinginannya tercapai. "Yang ingin punya anak pegang perutnya...,' ujar sang ustadz.
Selama ini tidak ada aturan tentang syarat-syarat menjadi ustadz. Ini beda dengan dokter yang harus melalui disiplin ilmu tertentu. Seseorang yang mampu tampil menjelaskan tentang agama Islam, sudah dianggap ustadz. Idealnya, sebuah mesjid atau lembaga yang ingin menggunakan jasa seorang ustadz menyelidiki terlebih dulu asal usul pendidikannya. Pesantren? Perguruan Tinggi Islam? Dalam Negeri atau luar negeri?. Inilah sebenarnya tugas Kementerian Agama yaitu mengklarifikasi keberadaan seorang ustadz. Sehingga meniadakan tampilnya ustadz yang justru membingungkan masyarakat.
Terlepas dari setuju dan tidak setuju, upaya Kementerian Agama merekomendasikan nama-nama ustadz/muballigh perlu dilanjutkan. Terserah kepada masyarakat memilihnya. Sehingga nantinya, siapapun ustadznya, membawa kesejukan, pencerahan, membuat masyarakat makin mengerti Islam` Bukan ustadz yang sok punya pendapat sendiri, berbeda dengan jumhur ulama. Atau ustadz yang buka praktek pengobatan dari jauh, meminta 'mahar' jutaan rupiah yang ujung-ujungnya berurusan dengan polisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H