kian koyaklah lini keyakinan,
terhempas terludah hawa panas mbang kulonan,
tertembus pula jagad pakeliran,
bermanifes dalam bayang kelam menggelisahkan,
pemuda Indonesia berjalan gontai,
ia tenggelam dalam pusaran candu palsu,
dilemparkannya sebuntal ludah,
pada setumpuk gamelan yang kian dianggap usang,
tak juga muncul tanya pada diri,
kenapa susut marut tali pengikat negri,
hanya seutas senyum malas,
dan di keruhnya air dangkal wajahnya sepucat kertas,
pemudi Indonesia melangkah limbung,
bersemayam pada jiwa mereka rasa yang bingung,
kabut pragmatisme betapa tebal menyelubung,
pematang nilai susila yang tersisa tinggal sedepa
merekapun pasrah tersandung,
dan dari padanya kudengar tawa riang,
meski kecantikan kian hangus terpanggang,
kekasih yang kurindu pun menghilang,
kebanggan dalam rongga-rongga jiwa lenyap terbang,
seorang pria tua membisu menatap lampu blencong,
konon itulah matahari dan bulan,
milik Ramayana,
milik Mahabharata,
milik wayang klithik,
milik wayang kancil,
milik wayang golek,
byar......
musnah................
ayak ayak mbang kulonan kini memberkahinya
dengan blencong plentong,
lalu apa hebatnya sabetan,
tatkala filosofi terlibas zaman,
hong wilaheng.....
hong wilaheng awignam mastuhu,
purnama sidham....
wahai putra bangsa,
ayak ayak mbang kulonan telah mengoyak sendi jiwa,
gemanya meraung membelah pertiwi,
para dalang,
seniman,
budayawan,
sastrawan,
mereka memeras darah dan air mata demi identitas kehormatan,
mereka tiada berhenti berlari demi nilai tegak berdiri,
mereka mengolah cipta,
rasa,
dan karsa,
demi benteng nurani negri,
lalu kemana kau akan pergi?
by; Djar Swastomo