Ba’da sholat Ashar selesai dzikir di mushola, haji Maksum kemudian beringsut dan duduk membelakangi ruang pengimaman. Telah tiga hari ini lewat dari hari pemakaman anak tunggalnya; Ustadz Akbar. Sebuah kehilangan yang teramat rumit baginya, oleh karena kematian yang mengagetkan. Ia masih terus mempertanyakan kenapa anaknya harus meninggal bunuh diri. Relung hatinya bagai tercerabut paksa ketika menemukan tubuh anaknya telah bergelantung tak bernyawa di dalam kamarnya sendiri. Ada apa gerangan.
Akbar. Selama ini putra tunggalnya tiada pernah berhenti membuat bangga. Seorang anak yang selalu patuh selain Akbar juga sangat serius belajar di pesantren. Perlahan dan sangat pasti, Akbar akan menggantikan dirinya menjadi imam, atau juga modin di kampung ini. Semuanya telah sesuai dengan apa yang haji Maksum inginkan dari anaknya. Akbar adalah anak yang baik. Gambaran seorang muda yang tampan, dan berwibawa dengan kekuatan ilmu agama yang tertoreh padanya.
Hampir satu tahun Akbar, sepulang dari pesantren, mengasuh anak-anak kampung ini mengaji. Selama itu pula, mushola di samping rumah haji Maksum tak pernah lepas dari tawa keceriaan anak-anak kecil yang mengaji. Bahkan sering juga banyak pemudi kampung ini yang berpura-pura mengantarkan adik mereka mengaji, sekadar ingin mencuri hati Akbar. Lebih dari itu, penduduk kampung ini juga sangat menghormati Akbar karena ia memang sangat cakap menggantikan ayahnya yang memang sudah mulai renta. Kendurian. Syukuran. Apapun. Akbar bagaikan haji Maksum yang masih muda. Bahkan Akbar dianggap lebih, dari sisi apapum dibandingkan sang ayah.
Haji Maksum kembali menarik nafas panjang. Di usia yang kian senja ini, ia merasa masih akan diberikan sebuah pelajaran penting oleh Allah. Namun semua ini memang tak mudah. Kematian Akbar menyisakan pilu dan rahasia yang sulit diungkap. Ia tak pernah merasa mendengar keluh kesah dari sang anak. Dan Akbar memang tak pernah terbuka. Bahkan sejak masih kecil. Yang ia ingat, Akbar kecil adalah seorang pendiam. Yang sering terjadi Akbar bisa saja mengunci diri dalam kamar, terutama saat kena marah dari sang ayah. Sehingga dewasa, Akbar masih seorang pendiam.
Pandangan haji Maksum kini menerabas ruang kosong kejauhan. Matanya yang keruh dan berwibawa kini memandang hampa. Angin yang bertiup malas sore ini, juga, tak mampu membantunya mengusir kegelisahan.
Sang pria tua kemudian menarik meja kecil di sudut mushola, dan ia tempatkan persis di depannya. Dulu. Beberapa tahun yang silam. Juga dengan meja inilah ia mengajari puluhan anak kampung ini belajar mengaji huruf-huruf Al Qur’an, termasuk si Akbar kecil yang penurut. Dengan kedisiplinan dan ketegasan bahkan kegalakan yang ia bangun, Akbar kecil dan teman-temannya menjadi sangat fasih membaca kitab. Para penduduk, saat itu, begitu percaya bahwa haji Maksum pasti mampu menjadikan putra-putri mereka mengenal agama dan sopan-santun.
Dan masih dengan meja kecil itu pula, Akbar, sebelum meninggal, juga mengajari anak-anak kecil kampung ini mengaji. Baca tulis Al Qur’an. Yang berbeda dari haji Maksum, Akbar terkenal sangat penyayang terhadap anak-anak yang ia bimbing. Ia sangat sabar. Akbar sangatlah dekat dengan semua anak yang mengaji. Itu pula salah-satu alasan kenapa orang-orang kampung ini lebih senang dipimpin oleh ustadz Akbar dalam hal apapun daripada oleh seorang haji Maksum.
Atas segala kerinduan yang merajalela terhadap almarhum anaknya, sore ini ba’da Ashar, haji Maksum ingin menggantikan kembali peran Akbar mengajar mengaji di mushola. Apapun hal atau masalah misterius yang dibawa mati oleh sang anak, biarlah itu menjadi tanggung jawabnya sendiri di hadapan-Nya. Tetapi semoga saja, dengan tak terbengkalainya anak-anak yang ingin mengaji, Akbar menjadi lebih tenang disana.
Ω
Telah lewat dari dua jam, sejak Ashar tadi sampai sekarang. Tiada satupun anak yang datang untuk mengaji. Haji Maksum mulai resah. Apakah kematian Akbar benar-benar membuat semua orang merasa kehilangan, dan sebegitu terpukulnya. Haji Maksum terus meratap dalam tanda tanya. Baginya mengaji adalah mencari ilmu.Dan manusia wajib mencari ilmu. Dari lahir hingga mati. Tidaklah pantas seandainya rasa kehilangan itu kemudian menghentikan langkah anak-anak kampung ini untuk memperdalam ilmu.
Semakin lama haji Maksum semakin tak mampu menahan gundah. Iapun berdiri. Ia ingin memastikan apa yang dilakukan anak-anak itu saat tidak mengaji begini. Kalau mereka kelewat sedih karena merasa sangat kehilangan ustadz Akbar maka ia sendirilah yang akan memberikan pencerahan pada mereka dan orang tua mereka. Bagi haji Maksum tak ada hal apapun yang bisa menghalangi anak-anak itu untuk terus mengaji.
Iapun segera berdiri dan beranjak meninggalkan mushola. Rumah pertama yang hendak ia datangi adalah rumah Truno. Karena sejauh yang ia tahu, anak perempuan Truno, Lestari namanya, adalah anak yang paling rajin berangkat ke mushola. Sungguh tak jauh berbeda, karena waktu Truno masih kecil dulu, ia adalah murid haji Maksum yang paling rajin. Dengan semangat nan membara haji Maksum melintasi ruas-ruas pematang sawah menuju rumah Truno tak jauh dari sungai. Tak berapa lama, ia telah menangkap penglihatan terhadap rumah sederhana Truno. Benar. Dan kebetulan sekali, kelihatannya Truno sedang duduk di balai bambu di depan rumahnya bersama Paniyem istrinya.
Semakin haji Maksum mendekati rumah Truno, dan semakin jelas juga bagi Truno dan istrinya melihat kedatangan haji Maksum, mendadak terjadi perubahan keadaan emosi Truno dan Paniyem. Saat haji Maksum hanya tinggal beberapa langkah saja dari tempat duduk Truno dan Paniyem, tiba-tiba saja Paniyem memalingkan muka dan segera beranjak masuk ke rumah meninggalkan Truno sendirian. Truno lebih bisa mengendalikan diri karena bagaimanapun ia ingin tetap menghormati haji Maksum.
Sebaliknya, haji Maksum langsung menangkap keganjilan yang ia lihat dari perubahan roman muka dan sikap Paniyem. Bahkan mata hatinya seperti tak buta melihat keterpaksaan Truno menemuinya. Mungkin Truno sedang tak ikhlas menemuinya sore ini. Atau mungkin ia datang pada waktu yang tidak tepat. Waktu saat mungkin saja Truno sedang ada masalah keluarga dengan istrinya. Namun apapun itu, haji Maksum terus melanjutkan niatnya yang tulus.
“Assalamualaikum, Truno.”,
“Alaikum salam haji Maksum.”, Truno berdiri dan menjabat tangan haji Maksum penuh hormat. “Silahkan duduk pak haji...”, katanya lagi untuk mempersilahkan haji Maksum untuk duduk.
“Terimakasih Truno....”
“Emmm....tumben pak haji datang ke rumah. Sudah lama. Ada apa pak haji....”, Truno bertanya dengan hambar. Itu jelas hanya basa-basi. Dan haji Maksum mulai benar-benar tidak nyaman.
“Truno..... Maksud kedatanganku kemari, aku hanya ingin bertanya, kemana Lestari dan anak-anak yang lain. Maksudku...kenapa mereka tak datang ke mushola untuk mengaji..”, tanya haji Maksum diliputi keresahan.
Truno yang bersiap untuk menjawab terpaksa kembali terdiam oleh karena sahutan suara istrinya dari dalam rumah. “Ndak usah berangkat mengaji. Ndak bisa mengaji ndak apa-apa. Biar Lestari bermain-main saja sama teman-temannya....”
“Astaghfirullah hal’adzim.....”, haji Maksum berbisik.
“Maafkan istri saya pak haji.....”, kata Truno sambil tertunduk lesu.
“Truno anakku...maukah kau bercerita ada apa?”, tanya haji Maksum hati-hati.
Truno, masih dengan kepala tertunduk, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Saya tidak sanggup mengatakannya langsung pada pak haji... Saya tidak sanggup....”, keduanya diam untuk beberapa detik.
“Truno...lalu apa yang harus aku lakukan biar semua masalah ini menjadi jelas. Aku ini sudah semakin tua. Ibaratnya, aku hanya tinggal membelanjakan sisa umur. Sisa nafas. Aku mohon, Truno.....”, kata haji Maksum memelas.
“Bertanyalah sendiri pada Lestari, pak haji. Ia dan teman-temannya sedang bermain di lapangan...... Mudah-mudahan ia mau menjelaskannya sendiri pada pak haji”.
Mendengar jawaban dari bekas muridnya, haji Maksum menarik nafas panjang. Dan sangat berat. Jelas ada hal yang tak wajar. Kata-kata Paniyem. Apa yang telah terjadi selama ini sehingga setelah kematian Akbar, Paniyem lebih merelakan anaknya untuk tidak mengaji.
“Aku pamit dulu Truno...”, kata haji Maksum sambil berdiri dan bermaksud meninggalkan rumah Truno.
“Pak Haji....”, sergah Truno. “Maafkan kata-kata istri saya....”
Haji Maksum mendekati Truno, dan mengelus pundak Truno dengan penuh ketulusan.
“Truno anakku bocah bagus...tak akan pernah ada asap tanpa api. Selama ini Paniyem adalah ibu yang sangat bersemangat agar Lestari bisa mengaji. Kalau sekarang Paniyem mengatakan hal itu, biarlah aku yang tua renta ini mencari tahu duduk persoalan sebenarnya. Siapa tahu, aku bisa sekaligus mengetahui penyebab kematian Akbar anakku.....”. Kalimat haji Maksum langsung mendarat menyentuh hati Truno. Truno-pun tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Asslamu’alaikum...anakku...”
“Alaikum salam pak haji...”.
Ω
“Ya Allah....jangan kau beri aku ujian yang aku tak akan sanggup menjalaninya.
Tak lama lagi mungkin aku akan segera bertemu Akbar anakku dipangkuan-Mu, ya Allah.
Tunjukkan saja padaku mana yang benar dan mana yang tak benar...”
Bait do’a itu tak putus terucap di hati haji Maksum saat ia melanjutkan langkahnya menuju sebidang tanah lapang tempat anak-anak kecil kampung biasa bermain. Di sepanjang jalanan yang membelah kampung itu, haji Maksum sama sekali tak mempedulikan pandangan sinis terhadapnya. Ia sebenarnya telah melewati puluhan rumah tinggal anak-anak yang biasa mengikuti pengajian sore di mushola. Ia telah melewati tempat tinggal anak-anak murid ustadz Akbar putranya yang telah tiada. Hatinya telah sedemikian istiqomah untuk mencari, bertemu, dan bertanya pada Lestari anak Truno. Bagaimanapun Truno dan Paniyem adalah orang-orang yang baik. Dan sikap Paniyem sebenarnya telah bercerita pada haji Maksum bahwa memang ada sesuatu yang tak beres yang melatar belakangi kematian Akbar. Dan apapun itu, pasti ada kaitannya dengan anak-anak itu.
“Badanku memang renta. Tapi hatiku masih cukup kuat diterjang badai kehidupan yang bertubi-tubi. Aku telah berjanji kepada Allah di depan Ka’bah waktu itu, disaksikan tetesan air mataku sendiri, bahwa seluruh sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, semuanya aku serahkan pada Allah. Apapun yang aku akan dengar hari ini, aku akan menjalaninya dengan pasrah dan ikhlas semata kepada Allah”, bisik haji Maksum dalam hatinya yang getir.
Maka terhentilah langkah gegas haji Maksum di tepian tanah lapang yang menghijau. Ia yang menghadap kiblat, mata tuanya berhadapan dengan sinar surya semburat kemerahan dan masih menyilaukan di ufuk barat. Menjelang Maghrib yang sangat indah. Meski tak beriringan dengan keadaan batiniahnya yang sengkarut.
Hal-hal metafisik bukanlah dunia yang berada dalam jangkauannya. Haji Maksum adalah manusia yang merasa dirinya adalah orang biasa. Demikianlah, itu tidak membatasi penglihatannya akan rona kebahagiaan yang terpancar tiada tara dari keceriaan seluruh anak-anak yang bermain di tanah lapang itu. Mereka menjerit-jerit penuh kebahagiaan. Kaki-kaki kecil mereka berkejaran penuh canda. Tangan anak-anak itu saling berkaitan penuh persahabatan. Mereka semua jelas sedang merasa bahagia.
Karena waktu terus merapat pada Maghrib, haji Maksum tak ingin membuang banyak waktu. Matanya yang tajam namun sayu segera menyapukan pandangannya. Memilih satu anak di antara beberapa, untuk ia jadikan tempat bertanya. Lestari. Kalau ia tak salah, Lestari adalah anak yang kini sedang menutup wajahnya dengan tangan di sudut lapangan tepat di bawah pohon mandingan, karena ia kalah dalam permainan petak umpet. Terlihat teman-temannya yang lain berlari cekikian mencari tempat persembunyian.
Haji Maksum berjalan pelan menghampiri Lestari yang sama sekali tak menyadari kehadiran haji Maksum.
“......tiga.....empat....lima.....enam.....”, Lestari menghitung sampai sepuluh memberikan kesempatan pada teman-temannya untuk bersembunyi.
Lestari sangat terkejut saat ia membuka mata, yang ia dapati adalah pria tua bersorban yang tak lain adalah haji Maksum. Ia serta merta tertunduk. Wajahnyamemperlihatkan ketakutan pada haji Maksum. Meskipun demikian haji Maksum bisa memahaminya dengan baik.
“Assalamualaikum, Lestari....”, haji Maksum menyapa dengan lembut. Bukan. Bukan dengan lembut. Tetapi penuh rasa hormat. Kepada si kecil Lestari.
“Alaikum salam pak haji.....”, jawab Lestari lirih tanpa mengangkat wajah sedikitpun.
“Kenapa tidak ke mushola untuk mengaji cah ayu?”. Jawaban Lestari hanya sebuah gelengan kepala. Dan itu belum menjelaskan apa-apa. Bahkan ketika haji Maksum mengulangi pertanyaan, Lestari juga mengulangi gelengan kepalanya. Ketika haji Maksum kian dilanda kebingungan, ia mendengar suara seorang wanita datang dan mengucap salam padanya.
“Assalamualaikum, pak haji Maksum....”
“Wa’alaikum salam warrahmatullah......”, jawab haji Maksum. Haji Maksum semakinmerasa bingung. Saat ia menengok ke belakang, ia mendapati Tantri dan dibelakangnya adalah anak-anak yang lain. Tantri adalah putri tunggal Komar; sahabat karib haji Maksum sejak kecil. Tantri adalah seorang wanita muda yang santun dan berilmu. Ia juga lulusan pesantren, sama seperti Akbar anaknya.
Melihat Tantri, angan haji Maksum segera melayang ke masa lalu. Ke sebuah perselisihan yang hebat antara ia dengan Komar. Sebuah pertengkaran yang mampu meledakkan hatinya, dan menyalakan api ketersinggungan yang tiada pernah padam sehingga setelahnya ia memilih untuk tidak terlibat pembicaraan dengan Komar. Saat itu, ada dua hal yang menjadi musabab pertengkaran. Pertama, Komar mencoba mengatakan keprihatinannya, sebagai sahabat, karena ia merasa haji Maksum bersikap terlalu keras pada Akbar sehingga Akbar sering datang dan menangis sambil mengadu tentang ayahnya pada Komar. Kedua, Komar di saat yang sama juga memberikan saran dengan cara yang santun pada haji Maksum agar mushola di pindahkan ke tempat lain. Konon, Komar sering mendengar bahwa penduduk kampung ini sebenarnya lebih merasa takut daripada segan karena tak jarang haji Maksum bersikap sebagai penguasa mushola. Komar , sang sahabat karib, mencoba mengingatkan pada haji Maksum bahwa mushola itu di bangun untuk menjadi milik kepentingan umat, selagi penduduk kampung ini belum mampu membangun masjid. Akhirnya, Komar menutup pembicaraan waktu itu dengan menyerahkan seluruh kebijaksanaan pada haji Maksum. Dalam hal ini, saat itu, Komar hanya mencoba untuk mengingatkan seorang sahabat saja.
Detik ini. Haji Maksum mendapati seorang Tantri yang berdiri di hadapannya. Wanita muda itu berjilbabkan kesantunan dan wibawa layaknya seorang Komar yang baik hati.
“Tantri...”, haji Maksum menyebut nama.
“Pak haji. Kalau diizinkan, biarlah saya yang mencoba bertanya pada Lestari.”, pinta Tantri, yang langsung disambut anggukan haji Maksum tanda setuju.
Sang wanita muda mendekati Lestari. Berjongkok di depan Lestari, dan dengan kasih sayang Tantri mengangkat wajah Lestari.
“Lestari....pak haji Maksum bertanya padamu kenapa tidak mau mengaji. Sebagai seorang muslim Lestari sebaiknya menjawab ya ndok...”, tanya Tantri dengan lembut namun penuh kekuatan.
“Lestari takut kak....”, mata Lestari berkaca-kaca.
“Jangan takut Lestari. Kita hanya boleh takut kepada Allah. Kalau kita takut pada hal selain Allah, itu dosa....”, Tantri mencoba mendongkrak keberanian Lestari.
Lestari terdiam beberapa saat. Ia nampak memberanikan diri manatap haji Maksum yang juga memandangnya penuh harapan. Si gadis kecil yang bermata tanpa dosa mungkin mulai menata. Memilih-milih kata. Mempersiapkan diri.
“Ustad Akbar......,”berhenti sejenak,”...saya sering dipaksa ke kamar mandi dan saya diraba-raba. Lestari tidak boleh bilang siapa-siapa...... Nisa, Aulia, Sinta...juga pernah....”, kata sang gadis kecil dengan sangat polos.
Haji Maksum tak sanggup mendengar kata-kata Lestari, dan tak bisa menunggu lebih lama. Ia segera membalikkan badannya dan bergegas kembali ke mushola. Terjawablah sudah. Haji Maksum segera tahu kenapa Akbar memilih mengakhiri hidupnya dengan cara seperti itu. Benarlah apa kata-kata Komar beberapa tahun silam. Bahwa dari kecil haji Maksum telah salah mengarahkan anaknya. Kini si pria tua menyadari bahwa ia telah memaksa Akbar menjalani segala sesuatu yang harus ia lakukan, bukan apa yang bisa ia lakukan. Akbar menjelma menjadi sosok yang tertekan dan tak berani bicara pada ayahnya sendiri. Akhirnya ia menjalani hidup dengan cara tak sewajarnya, sesuai dengan garis dunia yang terbentuk oleh segala keresahan dan keterbatasannya.
Jelaslah sekarang. Selama ini Akbar berdiri di atas sebuah garis batas rawan, antara kebajikan-kebajikan kolot penuh paksaan yang memenjarakan pikirannya, dan kejahatan yang senantiasa mengiringi jiwa-jiwa manusia yang rapuh. Akbar tak bisa keluar darilingkaran rumit. Ia terperosok pada dunia yang sebenarnya bisa membawanya menjadi mulia, namun mengisi ruang hatinya dengan berjejal-jejal.
“Ini semua adalah salahku. Ternyata aku membuat anakku sendiri menjadi tersudut. Ia tak merdeka, dan ia menjadi tidak ikhlas karena aku telah memaksanya. Ia seolah harus melakukan hal yang baik, sementara ia juga hanya manusia biasa yang bisa sangat dekat dengan kubangan dosa-dosa dan tiada lepas dari godaan-godaan setan. Maafkan aku, Akbar anakku. Maafkan aku ya Allah...”, demikianlah pikiran itu kini memenuhi hati haji Maksum yang sangat terkejut dengan apa yang dikatakan si gadis kecil. Anak kecil tak akan mengarang cerita. Lestari pastilah mengatakan hal yang sebenarnya.
Dan haji Maksum membuka hatinya untuk sebuah pengakuan. Ia membiarkan dirinya dibuai perasaan bersalah karena perasaan cintanya pada almarhum Akbar.
Nun kejauhan. Suara adzan Maghrib bersahutan. Menyirami hati seorang haji Maksum untuk kembali berpasrah pada karsa Yang Esa. Ia ingin melaksanakan sembahyang Maghribnya di mushola, meski ia tahu ia akan sendirian di sana. Yang ia inginkan adalah segera mendekat pada Allah. Karena Allah, hingga saat ini di usia senja, belum berhenti mencintainya. Biarlah segala kesedihan itu terlarut ke dalam butiran tasbih dalam dzikir yang sunyi. Untuk kedua kalinya, haji Maksum mengabaikan pandangan mata penduduk kampung yang menatapnya penuh kekecewaan pada almarhum Akbar, sekaligus rasa iba terhadap kebaikan haji Maksum. Anak polah bopo pradhah. Beberapa di antara penduduk berpikir demikian.
Namun demikian, salah satu pasang mata dari sudut lain menatap langkah haji Maksum dengan bijak dan karib; Komar sang sahabat. Bagi Komar, Akbar adalah Akbar. Haji Maksum adalah haji Maksum, seorang kawan baik yang ia selalu hormati.
Ω
Haji Maksum membasuh rongga-rongga raga dan jiwanya dengan air wudlu. Ia memohon pada Allah agar ia segera bisa jauh dari segala fitnah dunia. Selesai mengambil air wudlu, iapun masuk mushola dan segera takbiratul ikhrom. Ia menikmati sembahyangnya dalam kuasa-Nya yang hening. Sehingga runtuhlah butiran air matanya dalam sujud. Sang lelaki tua tak hanya menangis. Ia bahkan terisak. Haji Maksum tak selamanya kuat. Air mata itu tak akan membuatnya malu karena setiap anak manusia pasti menangis.
Lalu, sembahyang Maghrib haji Maksum berakhir dengan salam. Sama sekali ia tak menyadari betapa khusyuk sholat Maghribnya sehingga ia juga tak menyadari kalau beberapa orang telah menunggunya menyelesaikan sholat. Komar beserta Tantri, Truno, dan beberapa orang tua anak-anak yang pernah mengaji di mushola ini di bawah asuhan Akbar. Haji Maksum menunda dzikir.
Iapun memutar badannya, duduk bersila menghadap para tamu mushola sambil menghapus air mata di wajah keriputnya.
“Assalamualaikum pak haji....”, Komar mengawali.
“Wa’alaikum salam warohmatullahiwabarakatuh, Komar dan bapak-bapak sekalian....”, jawab haji Maksum parau. “Kalau saya boleh tahu...apa maksud kedatangan bapak-bapak sekalian...”
Dengan nada rendah dan lara itu, para tamu yang datang ke mushola justru kini seperti kebingungan. Mereka melihat kebesaran jiwa sekaligus mendung kesedihan pada diri haji Maksum di saat yang sama. Sampai kemudian, Truno-lah yang pertama memberanikan diri angkat bicara.
“Eee....pak haji Maksum, saya harap kita segera melupakan masalah ini. Kami sudah membawa anak-anak kami ke rumah sakit, dan...mereka baik-baik saja. Hanya saja untuk sementara ini, biarlah mereka tidak mengaji dulu untuk mengurangi trauma....”, kata Truno tersendat-sendat.
“Bapak-bapak sekalian....pak Komar, nok Tantri, Truno...dan semuanya saja....atas segala yang terjadi, saya mohon maaf. Saya mohon maafkan juga almarhum anak saya.......”, kalimat haji terputus. Tenggorokannnya serasa tersumbat. Tubuhnya bergetar hebat dan terangguk-angguk oleh tangis yang tanpa suara. Komar, sang sahabat, segera menghampiri dan memeluk haji Maksum untuk menenangkan. Tak ada sepatah katapun terucap oleh siapapun. Hening. Mushola telah dipenuhi rasa haru.
Beberapa saat kemudian setelah merasa lebih tenang, haji Maksum kembali berbicara. Ia menata hatinya kuat-kuat.
“Pak Komar, dan saudara sekalian, kalau berkenan, saya ingin mengajukan permohonan,” kata haji Maksum pelan.
“Kalau kami bisa, kami akan berusaha pak haji..;” jawab Komar tak kalah berwibawa.
“Saya ingin saudara-saudara memindahkan mushola ini, dari pekarangan rumah saya ke mana saja tempat yang lebih bisa bersatu dengan umat wabilkhusus untuk penduduk kampungini. Dan kalau saya boleh memohon, pindahkanlah mushola ini sedekat mungkin dengan tanah lapang itu. Saya melihat anak-anak merasa sangat bahagia di tanah lapang itu. Terakhir, biarlah anak-anak bapak sekalian nanti biar diasuh oleh Tantri.... Biarlah saya menghabiskan umur saya dengan mendengar anak-anak itu berkembang dengan baik, menjadi apapun yang mereka inginkan....”, haji Maksum mengakhiri rangkaian permohonannya.
Seluruh orang yang hadir di mushola itu kemudian saling berpandangan dengan senyum tersimpul. Mereka merasa sangat bangga dengan seorang haji Maksum.
SELESAI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI