mia Jamila
Peristiwa hanyutnya putra Gubernur Jawa Barat, Pak Ridwan Kamil yang disapa Eril di sungai Aare, Bern, Swiss. Mengingatkan aku hampir 39 tahun lalu di tempat yang berbeda bisa dikatakan daerah yang belum mempunyai akses infrastruktur tahun 1983 walaupun dekat dengan Ibukota Jakarta yaitu Muara Gembong, Marunda, Bekasi.
Mateksapala pencinta alam kampusku memutuskan mengikuti lintas alam Muara Gembong, Marunda, Bekasi. Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan medan lintas alam yang akan kami ikuti. Tujuan utamanya sesuai dari kurikulum akademik, untuk mengetahui bagaimana sanitasi lingkungan di daerah tersebut.
Tim kami ada empat belas orang, seluruh peserta lintas alam berkumpul di pelabuhan Tanjung Priok dan peserta diangkut oleh kapal TNI-AL yang lumayan besar, serasa akan membawa kami pergi menuju medan perang. Tidak begitu lama kami sampai di pelabuhan Marunda kapal tidak dapat merapat ke dermaga  jadi  menggunakan sekoci untuk sampai ke daratan. Untuk mencapai Muara Gembong ini lebih mudah menggunakan jalur laut karena pada tahun 1983 belum ada akses jalan darat ke daerah ini, sudah mulai terbayangkan bagaimana situasi keadaan daerahnya pada saat itu.
Dari pelabuhan kecil Marunda itu kami memulai perjalanan lintas alam. Jalan, jalan dan jalan kaki tentunya sesuai petunjuk arah Panitia Lintas Alam. Pada saat itu masih musim kemarau jalan setapak yang kami lewati sangat berdebu, ketika dihadapan kami terlihat aliran air yang tenang sangatlah menyejukkan mata. Itulah sungai yang cukup lebar mengalir tenang, dan ternyata kami harus menyeberangi. Terpakulah kami semua di pinggir sungai Muara Gembong itu, ada rasa takut menyeberangi karena tidak ada pengamanan apapun seutas talipun tak ada. Kedalaman sungaipun tidak ada yang  mengetahui, apa bisa dengan berjalan saja atau harus berenang? Berenang dengan membawa beban ransel?
Cukup lama memang kami ada di tepi sungai itu, akhirnya seorang teman tim kami ingin mencoba berenang tanpa beban ransel ingin mengetahui keadaan aliran sungai yang tenang itu. Alhamdulillah ia selamat sampai di seberang sungai, tetapi kemudian langsung memberi kode dengan menyilangkan tangannya agar kami tidak menyeberang. Terdengar juga sayup-sayup teriakan temanku kalau aliran bawahnya deras. Ada juga peserta-peserta lain nekad menyeberang sungai dengan berjalan menyebur ke air membawa beban ransel dan berhasil selamat sampai di tepi seberang. Godaan datang juga kepada tim kami untuk nekad menyeberang tetapi ketika ada peserta lain di depan kami yang tiba-tiba melambai-lambaikan tangan dan hanyut terbawa arus. Kemudian ada satu peserta lagi yang melambaikan tangan dan hanyut, kami semua hanya bisa memandangi lambaian tangan-tangan itu tanpa bisa berbuat apa-apa untuk bisa menolong. Hanya mengatakan, "Itu orang hanyut," ciut nyali kami untuk bertekad menyeberang melihat dua peristiwa itu. Kami semua terdiam di tepi sungai tanpa canda-canda lagj karena semua berpikir bagaimana cara bisa menyeberangi sungai dengan aman dan selamat.
Ketika kami hanya terdiam di tepi sungai, tiba-tiba ada bapak nelayan dengan perahu kecilnya menghampiri kami untuk menyeberang sungai yang permukaannya tampak tenang tetapi arus dibawahnya sangat deras. Aku tidak ingat apakah membayar jasa penyeberangan itu atau memang panitia Lintas Alam yang menyediakan sarana perahunya. Â Alhamdulillah kami semua selamat menyeberang sungai tanpa harus berbasah-basahan, dalam perjalanan menuju pos satu masih terbayang-bayang dua peserta yang melambaikan tangan tanpa mengetahui bagaimana nasibnya.
Tiba di pos satu yang merupakan pos dimana peserta akan bermalam, kami menuju ke sebuah warung dan meminta air minum dan camilan. Air minum di gelas itu tampak keruh dan aku pun bertanya kepada pemilik warung, "Ibu, ini air putih atau teh?" Ibu itu menjawab singkat, "Air putih." Rasa dahaga pun hilang, aku belum tega untuk meminum air putih yang keruh yang katanya sudah dimasak. Kondisi di pos satu Muara Gembong Marunda memang memprihatinkan, tidak ada tersedianya air bersih saja menandakan sanitasi lingkungan belum terjangkau di daerah itu. Panitia Lintas Alam menyediakan tempat bermalam dan tidur di bale-bale beratap di tepi sungai. Kami pun beristirahat tanpa mandi, mengumpulkan tenaga untuk esok hari tidak lupa membalurkan muka, tangan dan kaki dengan minyak sereh agar bisa tidur nyenyak tanpa digoda nyamuk-nyamuk.
Pagi hari pun datang ketika kami duduk di atas bale-bale menikmati aliran sungai yang tenang tiba-tiba datang speed boat yang diatas ada seorang laki-laki berkostum tentara yang berteriak-teriak agar kami tidak melihat kearahnya atau menjauhi. Padahal dari atas bale-bale dari jauh kami sudah dapat melihat di depan atas speed boat itu tergeletak dua jasad membesar lengkap masih memakai warepack, dua jasad laki-laki. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojiuun, "Dua peserta yang kemarin hanyut," kata kami semua serentak. Masih terbayang olehku hanyut terbawa arus dengan lambaian kedua tangannya berharap pertolongan tetapi apa daya kami semua yang melihat tidak bisa menolong, maafkan atas ketidak berdayaan kami kawan.
Perjuangan di medan lintas alam Muara Gembong harus kami selesaikan, sesudah sarapan kami berangkat. Ternyata perjalanan di hari kedua ini lebih berat dari hari pertama walaupun tidak harus bertarung nyawa menyeberangi sungai. Tetap medan yang harus dilalui tanpa ada pilihan jalan setapak apalagi jembatan. Yang ada hanya daratan yang sedang pasang air laut dan rawa berlumpur jadi kami harus menyebur berjalan di air setinggi dada dan berjalan di lumpur  setinggi dada juga. Ada beberapa kilometer yang kami lalui secara bergantian menyebur berjalan di air laut pasang dan berjalan di lumpur, jadi baju yang dikenakan bisa berlumpur, kemudian bersih, kemudian berlumpur lagi, dan bersih lagi begitulah keadaan kami saat itu. Namanya anak-anak masih muda pastinya hura-hura saja keadaan seperti itu karena tidak ada pilihan untuk menyelesaikan lintas alam yang sudah terlanjur basah dan berlumpur itu. Memasuki perbatasan wilayah Jakarta dan Bekasi akhirnya ketemu juga jalan setapak yang tidak berair atau berlumpur, jalanan setapak bekas tanaman bakau yang sudah rusak lingkungannya dan banyak ulat bulunya.
Dalam perjalanan menuju pos finish, tersiar obrolan-obrolan peserta lain bahwa medan lintas alam Muara Gembong ini sebenarnya  untuk tempat TNI latihan fisik, pantas berat sekali bagi aku seorang pencipta alam amatiran. Menjelang magrib akhirnya kami bertemu dengan jalanan beraspal yang menandakan sudah memasuki daerah Ibukota Jakarta. Secara fisik kami sudah menurun dratis karena sepanjang pagi sampai dengan sore harus berbajiku dengan air, lumpur dan terik matahari perjalanan mencapai garis finish sangat lambat sekali dan tiba di Tanjung Priok sekitar jam 20.00. Keadaan Jakarta tahun 1983 itu sudah cukup malam untuk mendapatkan kendaraan umum untuk pulang, karena sebagian kami tinggal di Jakarta Selatan. Seorang teman kami tinggal di Tanjung Priok, jadi kami memutuskan untuk bermalam di rumahnya. Keputusan ini yang sebenarnya yang membuat orang tua tim kami resah karena sudah tersiar bahwa ada peserta yang hanyut di lintas alam Muara Gembong.