Dinamika pesantren merupakan frase yang terbentuk dari kata dasar dinamika dan pesantren. Dinamika adalah kegiatan; keadaan, pengertian ini mengacu terhadap ”Kamus Ilmiah Populer” miliknya Pius Partanto dan M. Dahlan Al-barry yang diterbitkan oleh penerbit Arkola Surabaya. Sedangkan makna kata pesantren berasal dari kata dasar santri yang mendapat afiks (imbuhan) pe-an, maknanya: orang yang mengkaji islam. Pengertian ini berdasarkan pada “Kamus Bahasa Indonesia- Memuat arti bahasa dan Istilah-istilah dalam Bahasa Indonesia” yang kami temukan tercecer disudut kamar. Kata pesantren jika mengacu pada “Kamus Ilmiah Popular” dimaknai denganperguruan pengajian islam.
Dalam kaidah gramatika bahasa Indonesia yang baik dan benar dijelaskan bahwa frase merupakan dua kata yang terkumpul dengan memiliki pola DM/MD (diterangkan-menerangkan/ menerangkan-diterangkan). Pada frase dinamika pesantren menurut pandangan kami menggunakan pola MD sehingga dapat diartikan dengan kejadian-kejadian yang menimpa terhadap pesantren.
Dalam hal ini kami berpijak pada kejadian-kejadian beberapa tahun terakhir ini (kurang lebih 10 tahun yang lalu) hingga saat ini. Kata santri pada dunia kehidupan modern ini selalu diasosiasikan dengan sebuah komunitas yang tidak tersentuh mederenitas dan selalu menutup diri dari kehidupan modern yang dinamis dan terus berkembang. sehingga masyarakat memandang bahwa kaum pesantren cendrung kolot dan bahkan fundamental.
Dalam Uraian di atas begitu jelas, bahwa yang di maksud disini yaitu pesantren salaf. Namun dipandang dari kaca mata sejarah islamisasi di Indonesia khususnya ditanah jawa ini, pesantren memiliki pengaruh yang sangat besar. Sehingga islam dapat berkembang dan meluas dengan pesat dengan mudah pada seluruh plosok negeri.
Hal ini dilakukan dengan tujuan mentranfer ilmu oleh para ulama dengan membentuk halaqoh atau mendirikan tempat menginap bagi para santri yang belajar agama islam. Raden Rahmat atau yang lebih kita kenal dengan Sunan Ampel merupakan perintis yang menggunakan metode pesantren sebagai bentuk usaha beliau untuk menyebarkan agama islam di tanah Jawa. Metode ini membuahkan hasil yang cukup cemerlang diantaranya kerajaan islam Demak yang memiliki gelar Sultan Amiril Mukminin Raden Fatah merupakan lulusan dari lembaga pesantren.
Metode kepesantrenan ini terus menerus berkembang mengikuti perkembangan zaman sampai pada masa kemerdekaan Negara Indonesia. Seiring dengan perkembangan zaman yang pesantren mulai tersisihkan, seakan-akan masyarakat enggan untuk menoleh ke belakang terhadap usaha & jasa pesantren terhadap kemerdekaan.
Hal ini, terbukti dengan adanya laskar jihad dari pesantren Jombang-Jawa Timur yang merupakan seluruh santri Syaikh Hasyim Asy’ari atas perintah beliau untuk memperjuangkan tanah air (Baca : Hubbul Wathan). Masyarakat Indonesia yang kebanyakan merupakan kaum muslimin mulai merasa enggan dengan pendidikan pesantren salaf dengan alasan tiidak bias menjadi orang sukses(Baca : Kaya).
Sebenarnya kalau kita telisik lebih dalam dengan kacamata islam pesantren merupakan satu-satunya pendidikan di negeri kita yang menaungi tafaqquh fiddien yang selalu merujuk pada salafusshalihsebagai tolak ukur ubudiyah maupun amaliyah. Secara harfiah pesantren merupakan wadah pendidikian yang cukup cemerlang dan berkompeten dalam membentuk generasi bangsa yang berpegang teguh kepada tali-tali Allah SWT. Misalnya : Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Mahfudz Tremas, Syaikh Shaleh Darat, Syaikh Hasyim Asy’ari.
Di luar negeri kita mengenal Syaikh Romdlon Al-Buthi, Syaikh Muhammad Ali Ash-Shobuni, Syaikh Muhammad Wahbah Zuhaili yang notabenenya merupakan murni didikan pesantren. Di dalam pesantren selalu di didik secara kontinu dengan berbagai macam ilmu yang terangkum dalam kitab-kitab turats dan digembleng metode tarbiyah yang sesuai dengan Al-Qur’an & Hadits sehingga mereka benar-benar mumpuni dalam bidang keilmuan dan moralitas.
Akhirnya, setelah cukup matang para santri-pun siap untuk berdakwah pada masyarakat luas tanpa goyah terhadap tantangan zaman yang menghadang di depan mata.
Namun jejak pesantren semakin terkikis oleh adanya globalisasi, modernitas, & formalisasi yang mengubah pemikiran masyarakat untuk menjadikan dunia sebagai tolak ukur, bukan akhirat. Sehingga masyarakat lebih mementingkan lembaga formal daripada pesantren kecuali beberapa kalangan agamawan (Baca: Kyai) yang masih menginginkan putra-putrinya tumbuh di pesantren agar menjadi ahli agama yang taat.