Mohon tunggu...
Gafur Djali
Gafur Djali Mohon Tunggu... -

Direktur Indonesia Research and Strategy (IRS)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Maluku Bikin Pusing Kepala Jokowi

24 Mei 2015   18:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:39 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="690" caption="Presiden Jokowi saat pembukaan APEKSI di Ambon"][/caption]

Presiden RI berkunjung ke Maluku pada awal Mei ini. Bila banyak yang bertanya bagaimana hasilnya? Maka jawaban saya sederhana. Louhenapessy menanggung malu sementara Assagaf tertunduk layu. Kedua nama di atas adalah Kepala daerah sekaligus tokoh kunci dalam membangun komunikasi politik tinggkat tinggi. Dan dalam pandangan saya, Gubernur Maluku & Walikota Ambon telah gagal untuk memanfaatkan moment penting tersebut. Sedangkan Jokowi pusing mikirin solusi Maluku.

Saya akan menyandarkan argumen ini berdasar pada analisis (Semantik Lingustik) dalam sambutan Jokowi pada acara pembukaan APEKSI. Dan pendekatan komunikasi politik (Marketing Politik) antara kepada daerah dengan Presiden dalam membangun ikatan emosional-visoner.

Louhenapessy Menanggung Malu

Pada sambutan Presiden dalam acara Rakernas Asosiasi Pemerintah Kota se-Indonesia (Apeksi), ada dua hal yang menjadi sorotan utama. Yaitu, tentang karakteristik kota dan pembangunan-penataan kota. Di hadapan 97 Walikota se-Indonesia, Jokowi menyampaikan bahwa mestinya setiap kota memiliki identitas dan karakter. Misalnya mau fokus di kota maritim, atau kota hijau, atau agropolitan, atau mau konsentrasi di mycity, smart city atau heritage city.

Ini argumen yang cukup jelas, sekaligus kritik yang pedas. Karena pada banyak kasus, pembangunan kota atau salahurus kota justru telah menghilangkan identitas atau karakteristik kota itu sendiri. Sebagai mantan Walikota, Jokowi mengerti betul bagaimana membangun kota yang maju dan berkarakter. Bahwa kemajuan kota bukan semata diukur dari pembangunan fisik saja. Tetapi harus pula sesuai dengan karakteristik alam (geografis) dan identitas manusia (sejarah-budaya) kota tersebut.

Misalnya, Kota Sawahlunto. Kota ini dulunya adalah bekas pertambangan batu bara kolonial pertama di Nusantara. Kehadiran tambang ketika itu, seketika mengubah Sawahlunto dari desa kecil menjelma kota, lengkap dengan cerita penindasan dan tragisnya hidup masa penjajahan.  Atas dasar historis itulah Sawahlunto membentuk identitas sebagai Kota Pusaka Tambang. Hasilnya sangat positif, kini Sawahlunto menjadi salah satu kota wisata utama di Sumatra dan mencuri perhatian wisatawan dalam dan luar negeri.

Lantas, bagaimana dengan Kota Ambon? Begini penilaian Jokowi: "Seperti di Ambon, dengan teluk yang sangat indah, kita harus mempunyai keberanian untuk menata teluk yang ada, pantai, kanan kiri teluknya. Jangan sampai kedahuluan misalnya oleh PKL dan rumah-rumah. Inilah pentingnya bekerja detail," begitu kata orang nomor satu di Republik ini.

Saya sebagai yang awam menerjemahkan ungkapan Jokowi seperti ini. Mungkin Presiden  hendak  mengingatkan bahwa Ambon itu punya potensi menjadi Kota Teluk, kota pesisir mirip Singapura. Karena punya alam yang aduhai, pantainya bagus, teluknya indah, dan lautnya biru. Tapi kenapa potensi tersebut tidak dioptimalkan oleh pemerintah daerah. Malah lebih fokus ngurusin administrasi. Akhirnya, pantai yang indah diduduki PKL, pembangunan rumah tidak tertata. Hasilnya teluk tercemar.

Pada lain pihak, kota Ambon gencar melakukan promosi wisata. Seperti agenda wisata “mangente Ambon”, lalu apa yang bisa dinikmati dari kota ini kalau tata kotanya amburadul dan keindahanya malah dicemari oleh warga kotanya sendiri.  Jika dinormalisasi akan butuh waktu lama, tenaga ekstra dan biaya yang lebih besar. Mengutip kata Presiden, “Ini pemerintah daerah takut atau tidak bisa kerja detail?”.

Ini kritik sangat keras dari Presiden. Bayangkan suasana batin Walikota. Mungkin campur aduk, dan yang pasti malu. Karena Ambon selaku tuan rumah telah mendapat predikat gagal oleh Presiden di hadapan 97 Walikota Se-Indonesia. Saya sadar bahwa menata dan membangun kota tidaklah mudah. Saya juga telah melihat usaha dan upaya pemerintah kota yang cukup bagus. Meskipun ada beberapa yang masih dalam proses dan belum optimal. Kurang adil bila Walikota harus menanggung ini semua. Ada juga warga kota yang masih bandel dan keras kepala, susah berkompromi dengan pemerintah, tidak tertib aturan dan mencemari lingkungan.

Usulan saya untuk membentuk karakter-identitas (Brand) kota Ambon, maka Pemerintah kota harus mulai berfikir ulang. Apakah Ambon adalah City Of Music atau Ambon adalah Water Front City. Atau ada tawaran alternatif lain.

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Jokowi-JK dalam sebuah acara di Istana Negara, Suasana tampak ceria"]

[/caption]

Assagaf Tertunduk Layu

Ketika ditanya wartawan, apa agenda yang akan diperjuangkan Gubernur ketika Presiden berkunjung ke Ambon? Dengan yakin Assagaf berkata: ada tiga agenda yang akan kami perjuangkan supaya bisa segera ditanggapi oleh Pemerintah Pusat. Pertama, realisasi provinsi kepulauan. Kedua, PI 10% untuk Maluku dalam pengelolaan Blok Masela. Ketiga, Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional.

Lalu bagaimana tanggapan Presiden? Nol. Presiden tak membahas sedikitpun soal tiga agenda tersebut. Inilah yang membuat Gubernur tertunduk layu. Meskipun sesungguhnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah disahkan dalam Perpres No. 2/2015, sudah tertuang tentang percepatan dan perluasan ekonomi wilayah Kepulauan Maluku melalui pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Yaitu bertumpu pada ekonomi maritim, pertanian, dan sumberdaya tambang dan mineral.

Lantas kenapa Jokowi seperti enggan, berbicara soal ini ketika kunjungannya di Ambon? Menurut saya Jokowi pasti punya alasan kuat, dan ini prediksi saya. Pertama, soal provinsi kepulauan. Sepertinya Presiden masih ragu untuk segera memberi kepercayaan penuh kepada Maluku, agar tampil sebagai daerah percontohan Provinsi Kepulauan. Keraguan ini semakin menguat setelah Jokowi melihat kondisi Ambon. Logika sederhanya adalah, bagaimana mau jadi percontohan provinsi kepulauan, sementara untuk mengelola teluk saja masih kewalahan. Pemerintah Kota dan Pemerintah Provinsi harusnya punya garis koordinasi agar bisa sinergis. Jarak kantornya itu Cuma 100 meter, tapi kok seperti tidak ada koordinasi. Apalagi berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Ah, Maluku belum siap. Titik.

Kedua, soal PI 10% Blok Masela. Cadangan gas di Lapangan Abadi, Blok Masela, di Laut Arafuru, Maluku, diprediksi adalah yang terbesar di Indonesia. Sementara anggaran total yang dibutuhkan untuk proyek tersebut sekitar US$ 14 miliar. Akhir tahun lalu ketika gubernur berkunjung ke Jakarta, wartawan sempat bertanya . Apakah Maluku punya dana sebesar US$ 1,4 miliar atau 10% dari total investasi Blok Masela? Ada banyak pihak yang siap gabung dan berinvestasi dengan pemerintah, jawab Assagaf. Apakah PT Energi Mega Persada (Perusahaan milik Bakrie) juga masuk Masela dan ikut investasi bersama pemerintah daerah? Tidak, mereka tidak dengan kami. Sambung Gubernur yang diusung partai beringin ini. Dan fakta menunjukan bahwa Lapangan Abadi-Masela saat ini dioperatori oleh Inpex Corporation sekaligus pemegang saham terbesar, yaitu 60%. Sisa saham dipegang oleh Shell Upstream Overseas Service Limited 30% dan PT Energi Mega Persada 10%.

Saya lantas berfikir, mungkin Jokowi belum percaya penuh pada Assagaf. Terutama soal kecakapan dalam memimpin (menejerial). Contoh kongkritnya adalah sampai satu tahun belum ada Sekretaris Daerah definitif. Milih satu orang saja lama baget. Apalagi mau kelola dana US$ 1,4 miliar (setara Rp.18 triliun), kalau salah atau keliru, ya bisa bangkrut, kan repot. Mungkin itu pikir Jokowi.

Ketiga, Soal Maluku Lumbung Ikan Nasional (LIN). Program ini sudah dicanangkan sejak pemerintahan SBY. Namun sampai sekarang belum juga mampu direalisasikan. Potensi ikan tangkap lestari di perairan Maluku diprediksi sebanyak 1.6 Juta ton. Potensi ini bila dikelola dengan sokongan Pusat (APBN) akan mampu memberi kesempatan yang luas bagi peningkatan ekonomi di Maluku. Selain itu, Master Plan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional telah disusun oleh pakar kelautan perikanan Universitas Pattimura (Unpatti) maupun Intitut Teknologi Bogor (ITB), serta KKP juga telah menyetujui program reformulasi Maluku LIN. Agar dapat terealisasi maka yang dibutuhkan hanya satu, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) untuk menetapkan daerah ini sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN).

Lantas kenapa Jokowi belum juga menerbitkan Keppres tersebut? Menurut saya, Presiden masih marah. Karena selama setahun terakhir banyak kasus yang berhubungan dengan perikanan di Maluku belum mampu ditangani dengan baik. Sebut saja, Kasus pelanggaran HAM di Benjina yang akhirnya jadi sorotan internasional. Belum lagi kasus kapal MV Hai Fa yang hanya difonis ringan oleh

Pengadilan Perikanan Ambon. Yaitu denda Rp.250 juta atau ancaman penjara 6 bulan, setelah terbukti mencuri 15 ton ikan diperairan Maluku. Kenyataan ini membuat Menteri Susi naik pitam dan marah menyala, hingga memutuskan untuk menginvestigasi kasus tersebut.

Dua kasus ini membuat posisi Assagaf lemah di hadapan Jokowi. Bagaimana Presiden mau mengeluarkan Keppres, sementara Gubernur belum punya prestasi sama sekali terkait pengakan hukum dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Mungkin presiden berfikir, daripada LIN dipaksakan lebih baik ditunda dulu, sembari memberi kesempatan untuk Maluku menyiapkan diri agar layak menjadi LIN. Terutama dari sisi pengelolaan dan penegakan hukum.

Menurut saya, Gubernur Assagaf juga Walikota Louhenapessy masih gagap dan belum mengoptimalkan komunikasi politik dan branding agenda. Sehingga agak sedikit sulit menembus alur politik-birokrasi nasional. Terlebih partanya pak Gubernur adalah oposisi. Namun kendala itu bisa minimalisir bila branding agenda dapat dilakukan secara sistematif, terstruktur dan masif.

Penulis: Djali Gafur (Direktur Maluku Institute “Center on Public Policy and Economic Develompent Studies”) www.malukuinstitute.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun