Mohon tunggu...
Djagad Lelanang
Djagad Lelanang Mohon Tunggu... lainnya -

saya, lelaki dan terus mencoba menjadi lelaki dalam pikiran, perkataan dan tindakan saya. Saya terbuka dengan aneka pemikiran, konsep, sistem hidup, apapun itu hingga yg paling tak lazim pun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seni Mendengarkan Curhat

25 Juli 2012   07:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:39 1934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_202597" align="aligncenter" width="225" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Anda seorang pendengar curhat yang baik? Yang bagaimanakah itu? Mendengarkan dengan kerut-kerut di dahi, atau sesekali ketok-ketok jidat? Atau asal mengiyakan kemana maunya si pencurhat? Percayalah, bahwa makin hari makin tambah banyak orang yang bingung kemana ia mau curhat? Tumpukan masalah tiap hari makin tebal saja. Belum lagi tak mudah menemu orang yang benar-benar bisa menampung curhat. Curhat ke A, ah, si A sudah terkenal emberr! Curhat ke B, ah, si B ini sukanya mengakimi. Nanti dibilang aku manja, tak dewasa dan kekanak-kanakan. Curhat ke C, waduh, si C ini super duper lincah bibirnya, "Gue curhat satu kalimat, dia bisa berbusa-busa, menasehati!" Demikianlah, orang tak mau salah tempat curhat. Seberapa Anda bisa mendengarkan orang dapat diukur berapa orang yang sering curhat kepada Anda. Kalau tak ada, nampaknya Anda perlu mengaca diri ini? Ada apa dengan Anda? Apakah karena telinga anda tak terbiasa mendengarkan masalah orang lain. Atau, bibir anda yang tak bisa disiplin. Aha, tentu saja, saya bercanda itu tadi: pastilah setiap orang menjadi tempat curhat sesamanya. Bisa jadi, teman dekatnya, pacarnya, istrinya atau selingkuhannya. Aih, siapa tau? Entah bagaimana, bakat dari kecil atau bagaimana, saya kadang mendapat "anugerah" mendengarkan banyak curhat. Saya katakan anugerah, karena tak tentu setiap orang mendapatkannya. Bagaimana ini bisa terjadi. Barangkali, diri saya terlihat apa adanya, dengan sorot mata yang selalu bersahabat seakan tak bisa menyakiti lawan bicara. Atau karena, saya kerap "memalsu" diri, sehingga orang betah lama-lama berbicara dengan saya. Ah, itu pandangan lain, yang jelas, ada banyak yang suka "menelanjangi" dirinya di hadapan saya. Tetapi, namanya curhat ya curhat. Tak selalu enak didengar. Kalau boleh jujur malah banyak yang bikin dada ini sesek. Tentu saja bukan sekadar curhat mengenai kebingungan seorang teman yang memilih sepatu, atau mengenai galaunya seseorang karena ada jerawat tumbuh tepat di hidungnya. Ah, kalau yang demikian, cukup didengerin sambil batuk-batuk. Bagaimana misalnya curhat seorang yang bingung memilih jodoh. Kalau belum punya ikatan, gampang sekali diarahkan, tetapi kalau sudah punya tunangan, tetapi tiba-tiba tidak ngeh dengan pasangannya dan kebetulan sedang ada yang melirik. Atau, seorang istri yang tak diterima di keluarga suami. Atau curhatan seorang teman yang ingin melihat kedua orang tuanya bersatu lagi. Kita pun mesti berhati-hati ketika mau membuka mulut kita. Apa sih maunya pencurhat kepada pendengar curhat? Yang pasti ia ingin didengarkan. Ah, sudah rumus lazim dikatan bahwa mendengarkan berbeda mendengar. Maka, pertama-tama, seorang pendengar curhat harus bisa mendengarkan curhatan. Apa bedanya mendengar, dan mendegarkan? Tentu saja bukan hanya perkara konsentrasi atau tidak. Bukan pula perkara sengaja atau tidak. Tetapi perkara hati! Mendengarkan curhatan berarti mendengarkan sebagian rahasia seseorang. Bagaimana kalau tidak rahasia seseorang tanpa pakai hati. Karena, pakai hati, seorang pendengar curhat akan hati-hati menyimpan curhatan itu, juga hati-hati menanggapinya. Kalau mendengarkan tak pakai hati, ah, pastilah pencurhat akan langsung pergi. Tapi bisa pula kita pura-pura pakai hati. Seorang pendengar curhat, biasanya, merasa bersalah kalau tak bisa memberi solusi. Saya pun kerap merasakannya. Mati-matian saya kutip berbagai sabda para filsuf hingga ayat-ayat suci, tetapi kalau memang bukan solusi yang tepat baginya, ya bagaimana lagi. Maka, pendengar curhat yang baik, bukanlah pemberi solusi. Solusi tetap ada pada pencurhat. Ah, mungkin sebagai lelaki, kerap sekali tertempel pangkat "hero". Makanya selalu ingin tampil sebagai pahlawan, apalagi di hadapan perempuan. Bahkan, kita memaksakan apa yang kita katakan. Waduh, ini bukan pendengar curhat yang baik. Kadang-kadang seorang pencurhat hanya butuh didengarkan. Kalau memang tak tahu apa jalan keluarnya, ya bagaimana, lebih baik jujur bukan? Bahkan, sebenarnya orang tersebut hanya ingin ditemani saja. Katanya, seorang pendengar yang baik bukanlah pengambil keputusan tetapi hanya memberi pertimbangan. Nah, khan? Ia harus bisa membantu si pencurhat menemu masalahnya, dan mengajaknya untuk menemukan sendiri jawaban masalahnya itu. Ada benarnya sebuah pernyataan mengenai konseling, katanya, seorang pendengar harus berani ambil jarak kepada si pencurhat. Tentu saja demikian. Bagaimana, tidak. Persoalan kadang amat memeras otak, menyesakkan dada, dan bikin geleng-geleng kepala. Beruntung saja, saya tak pernah sampai membawa tidur masalah curhatan. Barangkali belum kompleksnya masalah itu. Tetapi, kerap kali saya merasa iba, merasa kasihan. Dan, inilah katanya juga kurang baik. Seorang pendengar bukan lalu hanyut pada masalah klien. Tetapi, bukankah ini menyangkut perasaan? Manusia mana yang tidak tersentuh bila mendengar cerita sedih sesamanya? Dan, bukankah perasaan itu mudah nyetrum? Iya, tetapi, seorang harus bisa mengambil sikap akan hal demikian. Bagaimana bila seorang lelaki, menerima, curhat teman perempuannya, dan isi curhatannya: suaminya selingkuh. Awalnya pasti rasa kasihan, lama-lama, ketemu teratur, jadi deh dari rasa kasihan menjadi rasa cinta. Kalau yang ini pantas disebut "Tresna jalaran seka rasa iba". Lalu, jadinya, siapa selingkuh? Aha, konon konseling profesional itu harus dibatasi, baik lama pertemuan dan frekuensinya. Untuk apa? Itu tadi: jaga jarak. Jadi? Mendengarkan saja bukan sembarang mendengar. Tetapi, ada seninya. Tetapi, yang pasti seorang pendengar harus banyak diam. Bukankah ketika mau berbicara saja, kita harus berdiam dulu apalagi sekarang ketika menjadi pendengar? Vis loqui? Disce tacere prius! Engkau ingin berbicara? Belajarlah diam lebih dulu. Ah, dari tadi saya banyak bicara, saatnya sekarang harus gantian diam. @Djagadlelanang

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun