Tulisan ini saya buat sepulang dari sekadar menghirup udara di luar rumah. Jalan malioboro makin macet saja, terlebih malam minggu. Tak ada yang kulakukan selain jalan-jalan di sepanjang Jalan Malioboro. Sebelum pulang oleh seorang teman saya diajak mampir membeli roti “Djoen”. Toko roti ini terlihat klasik. Katanya roti “Djoen” masih dibuat oleh tangan sendiri. Hanya seorang ibu tua, china dan pembantunya yang melayani kami. Alasan teman saya membeli roti itu sederhana: roti ini masih klasik seperti dalam Madre. Saya mengikutinya.
Sepulang dari jalan malioboro, di sepanjang jalan terlihat pasangan-pasangan yang sedang menjalani rutinitas akhir pekan. Rutinitas? –maaf mestinya bukan rutinitas- apa jadinya kalau pacaran hanya jadi rutinitas? Pasangan-pasangan muda mudi itu rasanya memenuhi setiap sisi-sisi kota: di kanan kiri jalanan, di atas kendaraan roda dua, di antara kedai makanan, di angkringan, di toko buku, di kedai kopi, di kedai susu, di antara tugu Jogja, di tempat lesehan nasi goreng papilon, di antara rancak alunan perkusi Malioboro, di antara sorak-sorai gedung olahraga, dst. Ada yang nglendot, ada yang bergandengan, ada suap-suapan, dan barangkali di sudut kota yang sepi mereka saling bertukar ciuman. Nah, perihal yang disebut terakhir ini membuat saya untuk menuliskannya dalam satu dua buah paragraf. Ya, perihal ciuman. Ada banyak hal yang terpikirkan dalam benak saya berkaitan mengenai ciuman. Kepada Kalian akan saya beritahu.
1. Ciuman adalah tanda kasih. Sederhana saja, orang yang menikah, salah satu momen yang ditunggu adalah saat ciuman pertama sebagai pasangan resmi. Itu tanda kasih. Ketika seorang ibu mengantar anaknya di sekolah, ia akan mencium kening anaknya. Itu kasih orang tua. Ibu saya terakhir mencium dan memeluk saya adalah ketika saya kelas 1 SMA. Itu kali pertama saya meninggalkan rumah. Dan, setelah bertemu kembali, dipeluklah saya dan diciumnya dengan rasa haru. Setelah itu tak ada lagi pelukan dan ciuman ibu. Itu juga ada kasih. Kalau cipika-cipiki? Bagi saya, itu tak lebih dari sebuah hal formalitas, basa-basi yang sungguh tak saya sukai. Pernah ketika kami merayakan ulang tahun seorang teman perempuan. Setiap dari kami, entah laki-laki dan perempuan memberikan cipika-cipiki, entah mengapa pada giliran saya, saya menolaknya. Tak ada kebiasaan dalam diri saya, bukan sekadar tak ada kebiasaan cipika-cipiki tetapi tak ada kebiasaan basa-basi. Pernah pula, seorang ibu yang barangkali menganggap saya sebagai anaknya, setelah lama tak bertemu, ia menjumpai saya dan akan memberikan hadiah cipika-cipiki, dengan gesit saya menolaknya. Ciuman tentu saja akan menjadi tanda kasih kalau ada kedekatan relasi dan kedalaman hati.
2. Ciuman adalah tanda penghormatan. Anda pun pasti pernah melihat seorang perempuan yang mencium tangan suaminya entah ketika mau berangkat kerja, atau keluar rumah? Itu tanda penghormatan. Mengapa tak ada lelaki yang mencium tangan perempuan? Barangkali itu hanya ada dalam film kartun barat. Atau memang kesetaraan pria-wanita baru ada dalam dunia barat? Tentu saja, yang demikian, menunjukkan paham patriakat yang sudah mengakar terlalu kuat.
3. Ciuman adalah tanda kerendahan hati. Nabi Isa, dalam the last supper, membasuh kaki para muridnya dan menciumnya. Itu lambang kerendahan hati seorang guru. Maria Magdalena, seorang pelacur itu juga membasahi kaki Sang guru dengan minyak harum yang mahal dan menyeka dengan rambutnya –tentu saja ia juga mencium kaki Sang guru. Ciuman tanda kerendahan hati, ia merasa tak pantas sebagai seorang pendosa di hadapan orang suci yang penuh kuasa itu.
4. Ciuman adalah tanda tunduk. Saya jadi teringat drama Kyai Ageng Mangir yang ditulis oleh Pramoedya. Begitu saktinya Kyai Ageng Mangir, Panembahan Senopati tak kewalahan menghadapinya. Untuk meredakan pemberontakan Mangir, Ia mengumpankan puterinya sendiri. Puterinya menyamar masuk dalam rombongan pengamen yang keluar masuk kampung. Mangir melihatnya dan langsung jatuh cinta, tanpa tahu perempuan jelita itu puteri raja. Mangir pun mengungkapkan cintanya, gadis itu tak menolak. Setelah mereka hidup bersama, gadis itu akhirnya mengaku bahwa ia anak raja Mataram. Ia memohon kepada Mangir untuk menghadap ayahnya sebagai bentuk penghormatan. Mangir pun menyanggupinya. Sampai di istana, sebagai tanda bekti kepada raja, yang kini ia anggap sebagai bapaknya sendiri, Mangir mencium kaki Sang Raja. Saat dicium kakinya itu, Sang raja mengangkat batu sebesar kepala, watu gilang dan dihantamkannya ke kepala Mangir. Mangir tewas dengan kepala pecah. Ciuman Mangir kepada Bapak mertua sebagai tanda tunduk dibalas dengan hantaman batu.
5. Ciuman adalah tanda penghianatan. Yudas Iskariot menghianati gurunya dengan sebuah ciuman. Ia menukar gurunya dengan segenggam uang. Tanda penghianatan jelas: sebuah ciuman. Barangkali hal-hal mesra kadang itu sebuah tanda, sebuah kode. Bukankah salah satu tanda kalau salah satu pasangan selingkuh, ia akan terlihat makin mesra?
6. Ciuman adalah tanda nafsu. Ini jelas. Toh, nafsu tak selamanya negatif. Konon, cinta tanpa nafsu seperti masakan tanpa bumbu. Orang mencintai pasangannya akan menggunakan semua yang ada dalam dirinya untuk saling menyenangkan, di antaranya dengan ciuman.
7. Sejujurnya, saya tak paham dan belum pernah membaca mengenai teknik-teknik mengenai ciuman. Tetapi, kalau saat ini ditanya, siapa gadis yang saya inginkan jadi partner ciuman saya? Tyas Mirasih. Ya, ia muncul dalam pikiran saya. Saya suka sekali melihat bibirnya dalam tayangan video lagu Iwan Fals-Laduni, dalam belum ada judul yang menjadi OST Mama Cake. Terus terang bibir tipis Tyas Mirasih, mengundang imaginasi. Barangkali mencium bibirnya yang seksi itu seperti menyeruput lemontea di antara terik matahari. Ah, sudahlah. Tak baik kalau malam minggu hanya untuk melamun. Selamat malam, semoga Anda dihadiahi ciuman oleh orang yang Anda kagumi. Ya, suatu saat nanti!
@Djagadlelanang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H