Raka, Bagas, Saskia, dan Johan berada di Kota Asmara, sebuah kota yang penuh misteri dan bahaya. Mereka belum bisa mengerti mengapa mereka dibawa ke tempat ini, tetapi satu hal yang pasti: mereka harus menemukan Sinta dan mengakhiri teror Ibu Malam.
Di tengah kerumunan kota yang ramai, Johan, masih dengan pakaian Cakilnya, menggaruk kepala sambil berkata, "Kenapa aku bisa sampai di sini? Bukankah aku seharusnya sedang menari di atas panggung?"
Bagas tertawa kecil sambil menepuk punggung Johan. "Kamu pasti menarik perhatian dengan pakaian itu. Lihat, orang-orang mengira kamu badut jalanan!"
Saskia pun ikut tersenyum, "Yah, setidaknya kita mendapat sedikit uang receh," katanya sambil mengangkat beberapa koin yang dilemparkan orang-orang ke arah Johan.
Namun, di tengah canda dan tawa itu, Raka tampak gelisah. Pikirannya terus-menerus dipenuhi bayangan Sinta yang ditawan oleh Ibu Malam. Ia merasa tak bisa lagi menunggu. Tanpa memberitahu siapa pun, ia memutuskan untuk bertindak sendiri.
"Aku akan mencari Sinta," gumam Raka pelan, nyaris tak terdengar oleh Bagas dan Saskia. Ia memperhatikan sekelilingnya dan melihat sungai yang mengalir deras di dekat mereka. Tanpa ragu, ia melepas bajunya, lalu melompat ke dalam air dan mulai berenang menuju istana Ibu Malam yang tersembunyi di Kota Asmara.
Sementara itu, Bagas dan Saskia mulai merasa khawatir. "Kamu lihat Raka?" tanya Saskia, matanya mengedar mencari sosok yang tak juga muncul.
Bagas menggeleng. "Mungkin dia sudah bergerak sendiri untuk menemukan Sinta. Tapi kita juga harus melakukan sesuatu. Masih ada rahasia yang harus kita ungkap."
Saskia terdiam sejenak, mengingat sesuatu. "Bagas, kamu ingat tulisan di tubuh Surya?"
Bagas mengangguk. "Ya, tulisan itu. Aku ingat bagian yang berada di dadanya, di dekat tanda lahir yang aneh itu. Ayo kita cari tahu lebih lanjut."