Saya tertarik dengan catatan kritis teman Airlangga Pribadi yang sedang menempuh gelar Phd di Asia Research Center Murdoch University melalui media Carikabar.com 6 Agustus 2012.
Hal kebayang bagi saya kalau Pilkada DKI sama dengan Senapan Angin Merk Bramasta Power Long dalam bentuk epistemology. Pilkada itu membuat seseorang bisa menjadi laras akurasi tembakan dengan ukuran peluru tertentu yang berartistikan poporan buatan manusia (hand made) atau buatan pabrik (mecahanic production) dengan komposisi tabung angin pompa 15-30 kali lalu begitu ditembakkan maka akan menghasilkan bidikan tepat.
Pentas penembakan Jokowi vs Foke adalah skala ukuran akurasi jarak tembak politik nasional di putaran kedua. Adu kecepatan dan akurasi itu bisa dilihat pompa angin politik melalui tiga nalar kritis teman saya yaitu: pertama, kedua kontestan yang berlaga itu adalah bagian dari lingkaran oligarkhi politik elite di tingkat nasional. Sehingga memilih salah satu di antara mereka, dalam pandangan ini, adalah memilih pion atau instrumen dari oligarkhi itu untuk membajak proses demokrasi secara keseluruhan.
Kedua, keraguan bahwa siapa pun yang akan terpilih dalam prosesi pilkada ini, maka hampir mustahil dapat menyelesaikan persoalan Jakarta yang begitu kompleks dan dikepung oleh kepentingan elite predatoris maupun premanisme di tingkat lokal.
Ketiga, tampilnya isu SARA yang saat ini tengah gencar diembuskan untuk menggoyahkan dukungan terhadap salah satu pasangan kandidat.
lalu temanku menyimpulkan sebuah jawaban atas tiga pertanyaan tersebut melalui tulisan yang dikiblatkan sebagai jawaban serius bagi warga Jakarta satu persatu.
Pertama, terkait dengan keraguan bahwa seluruh pasangan yang tampil adalah bagian dari alat oligarkhi politik nasional. Pertanyaan ini berangkat dari pandangan bahwa pasangan Jokowi-Ahok merupakan kuda troya dari koalisi oligarkhi PDI-Perjuangan (Megawati) dan Gerindra (Prabowo), sementara pasangan Foke-Nara adalah alat dari kekuasaan yaitu Oligarkhi Cikeas dan para pendukungnya.
Secara umum sepertinya pandangan di atas kuat. Namun dalam pengamatan penulis, pandangan ini tidak dapat dipertahankan dan lemah dalam melihat realitas politik secara keseluruhan. Hal yang dilupakan dalam analisis di atas adalah bahwa politik adalah persoalan bagaimana memanfaatkan kesempatan untuk melakukan perubahan yang lebih baik dan bagaimana memahami soal kuasa (power) sebagai perimbangan antara proses penguatan (empowering) selain jejak langkah dari para aktor yang tampil.
Pada kasus pilkada DKI, kemungkinan bahwa calon menjadi alat politik elite nasional tidak tertutup kemungkinannya. Meskipun begitu, faktor ini juga harus mempertimbangkan faktor lain, yaitu ketika aktor yang muncul memiliki karakter terbuka melakukan komunikasi politik dengan warga di tingkat akar rumput, maka skenario politik yang terjadi dapat berjalan dengan arah berbeda.
Alih-alih menjadi kuda troya oligarkhi, kemampuan kekuatan politik progresif untuk memilih dan memanfaatkan kesempatan dengan membangun aliansi dengan calon yang memiliki kredibilitas publik yang baik justru akan mendorong perubahan politik mengarah pada kepentingan publik yang lebih luas. Di sinilah politik tidak bekerja secara linear, namun sangat ditentukan oleh kemampuan para agensi politik di dalamnya untuk memanfaatkan ruang kesempatan politik yang tersedia.
Kedua, keraguan bahwa siapa pun yang akan memimpin Jakarta maka hampir mustahil akan membawa perubahan politik yang lebih baik di tengah kompleksitas persoalan dan begitu padatnya permainan politik yang dilakukan dari level elite politik, birokrasi, sampai ke premanisme politik. Menjawab pertanyaan ini, maka yang patut disadari bahwa struktur ekonomi-politik bukanlah suatu yang bersifat statis dan menjadi kutukan. Berjalannya prosesi perubahan ekonomi-politik sangat ditentukan pula oleh kemampuan dari pemimpin untuk membangun dukungan moral dan merebut hati dan pikiran dari warga untuk memberikan dukungan terhadap proses perubahan.
Di tengah praktik predatoris politik dari elite politik, namun yang patut untuk diingat bahwa mayoritas warga Jakarta rindu akan perubahan yang lebih beradab, ekologis, sekaligus manusiawi untuk kotanya. Di sinilah lagi-lagi sebuah kesempatan politik terbuka bagi warga Jakarta untuk memilih pemimpin yang sanggup mengorganisir dan mengarahkan energi positif warga bagi sebuah perubahan yang lebih baik.
Ketiga, terkait dengan isu SARA yang menyeruak, terutama dalam putaran kedua pilkada Jakarta. Munculnya kampanye maupun seruan bertendensi SARA ini sebenarnya tidak memiliki pendasaran yang kuat, karena dari berbagai isu yang muncul tersebut tidak berdasarkan atas fakta empirik maupun keluhan dari jejak langkah yang pernah dilakukan oleh para kandidat dalam memimpin daerah mereka. Mengingat dua kandidat yang saat ini berlaga mereka masing-masing memiliki pengalaman dalam memimpin daerah.
Hal yang patut diingat adalah bahwa kerapkali isu berdimensi SARA diembuskan oleh fihak-fihak yang tidak mampu menampilkan kinerja mereka dalam mengelola urusan publik secara positif, sehingga jalan yang tersisa adalah mereka memanfaatkan sentimen-sentimen purba yang sebenarnya saat ini sudah tidak lagi menarik bagi khalayak publik Jakarta.