Hasil quick count cepat Kompas pada kemenangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) 42,59 persen atas incumbent Fauzi Bowo-Nahrawi Ramli (Foke-Nara) 34,32 persen plus rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta dalam putaran pertama Pilgub DKI Jakarta Rabu 11 Juli 2012 karena besutan cerdas tim pemenangan dan mesin politiknya yang kurang lebih berujung pada kesimpulan ketokohan; “Jokowi itu sederhana tapi berpikir mulia.”
Pencitraan politik substansial dengan berbasis prestasi dan peremajaan kepemimpinan bagaimana dikemas dengan baik sampai kepemimpinan ala Jokowilah yang patut menjadi kebutuhan masyarakat Jakarta dengan slogan “JakartaBaru” untuk segala perubahan. Perubahan infrastruktur, transportasi, ekonomi, tata ruang, terciptanya lapangan kerja, keamanan, dan memanusiakan manusia (peduli pada wong cilik) terjawab oleh jejak rekam Jokowi sejak memimpin Kota Solo.
Tapi kemenangan Jokowi-Ahok dalam hitungan quick count di putaran pertama itu dari berbagai sumber survey masih belum disebut kemenangan utuh karena masih ada ronde kedua. Putaran kedua, Jokowi-Ahok harus betarung habis-habisan menghadapi petahana Fauzi Bowo- Nahrawi Ramli (Foke-Nara) yang akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan kehormatan jatidiri incumbent dan rezim kekuatan politik nasional. Pergulatan itu menjadi potret politik nasional pada Pemilu Presiden 2014 mendatang.
Mesin Penggerak
Kemenangan Jokowi-Ahok itu bukan karena sosok ketokohan individu belaka atau body tokoh melainkan ada dua hal penting yang harus disimak secara mendalam.
Pertama; PDI-P dan Gerindra adalah underbow mesin politik di bawah kewenangan Megawati dan Prabowo. Mesin partai menggerakkan semua basis yang bertumpu pada dan menghadapi gempuran koalisi-koalisi diputaran pertama dan kedua oleh pihak incumbent. Pertahanan itu adalah keahlian khusus yang dimiliki Sang Jenderal sebagai mantan Kopasus, pasukan elit zaman Orde Baru.
Basis loyalitas yang disebut harga mati adalah kerap mengacu pada tesis kelompok partai nasionalis yang lekat pada diri dan pengikut putri Soekarno, Megawati Soekarno Putri. Operasional mesin politik yang gesit ditubuh PDI-P kemudian memutuskan mengusung kader Jokowi dalam etalase politik DKI Jakarta 2012.
Dua elit partai itu menjadi tulang punggung titik bertemunya Jokowi-Ahok untuk ikut laga Pilgub DKI. Sebagai cermin politik nasional dan gambaran Pipres 2014, Mega-Prabowo bertaruh sejauhmana kekuatan mesin politik mampu menjembatani kepentingan parpol menuju percaturan politik Pilpres mendatang.
Kedua; di balik konsultan dan tim kreatif muda yang cepat menangkap ide, gagasan, kecerdasan dalam memanajemen isu untuk Jokowi menjadi bamper utama. Bagaimana pergulatan isu bisa mengkrucut dan melekat cepat di benak masyarakat DKI Jakarta. Slogan yang sederhana tapi mengena dan mudah di ingat oleh wong cilik menjadi kesuksesan brand image Jokowi.
Latar belakang, track record itu yang kemudian disulap menjadi pegangan pendukung fanatik Jokowi-Ahok melalui trend kemeja kotak-kotak, komunitas kotak-kotak di berbagai sudut Jakarta, slankers mania, warga pinggiran Jakarta, pedagang pasar tradisional Jakarta, program yang membumi, dan kinerja suksesnya selama menjadi Wali Kota Solo.
Cara kerja endorsment bertahap efektifitas men-gup-grade kandidat melalui media campaign mampu mempengaruhi warga DKI untuk menentukan pilihan kepada Jokowi-Ahok. Berbagai media komunikasi tergarap epik; berupa film pendek Jokowi-Ahok, lagu-lagu, jingle-jingle Jokowi-Ahok, dukungan dan relasi yang tersebar di berbagai media massa dari jejaring sosial berupa Face Book, You Tube, iklan TV, iklan di Koran cetak, on line hingga koran buatan sendiri.
Tikungan Maut
Apakah Jokowi-Ahok bisa mempertahankan kemenangan diputaran kedua? Mampukan Foke-Nara mendaur ulang suara dengan koalisi barunya hingga terbukti sebagai kandidat bertahan dan menjadi pemenang kedua kali di laga DKI ini?
Semua warga DKI tentu berharap adanya perubahan di Jakarta terutama masyarakat bagaimana bisa keluar dari jebakan sosial berupa banjir tahunan dan macet sehari-hari serta Jakarta tak lagi dipandang sebagai Ibu Kota Negara yang semerawut dan menjenuhkan. Bagaimana Jakarta tertata, nyaman, aman dan feel at home bagi siapa saja yang berkunjung di Kota miniature Negara Republik Indonesia.
Sementara, sisi pengamat politik banyak yang menilai pro dan kontra soal kemenangan Jokowi di putaran kedua. Ada yang berasumsi Foke-Nara akan lebih ekstra dalam memaksimalkan mesin politiknya sehingga Jokowi-Ahok kalah. Ada juga yang mentaksir bahwa kemenangan Jokowi-Ahok diputaran pertama adalah gambaran kongkrit kemenangan di putaran kedua.
Tapi tak dapat kita nafikan di pelbagai media massa termasuk banyak prediksi yang membela Jokowi-Ahok karena kesederhanaan tampilan, wajah lugu tapi berpikir merakyat dan tidak elitis, menjaga kesantunan politik dan tampil apa adanya itu. Termasuk Soegeng Soerjadi Sindicate yang mengatakan bahwa kemenangan Jokowi-Ahok di Pilgub DKI adalah hembusan angin segar untuk menuju perubahan dan masyarakat rasional yang berdaulat tak perlu terjebak lagi dengan hasil survey seperti LSI, Indobarometer dan sebagainya yang menafsirkan kemenagan Foke-Nara dalam satu kali putaran.
Jokwi-Ahok vs Foke-Nara diputaran kedua tergantung pada pemilih rasional dan kecerdasan warga DKI dalam menentukan pilihan bukan karena hasil pengamatan atau hasil survey yang telah gagal memprediksi kemenangan Foke-Nara dalam satu putaran.
Sebab fenomena Jokowi-Ahok yang bisa menggeser petahana diputaran pertama adalah tikungan maut bagi perpolitikan nasional. Jokowi yang hanya orang ndeso berwajah culun tak banyak tahu soal Jakarta justru mematahkan semua analisis politik Pilgub DKI Jakarta.
Dalam politik ada adgium: “kenali lawanmu”, agar tidak meremehkan lawan seperti perang media kampanye yang meremehkan Jokowi-Ahok sebelumnya. Jokowi boleh dibilang orang desa yang mengadu nasib di Jakarta bahkan hasil survey banyak yang meprediksi kalau Jokowi bakal pulang kampung. Tapi faktanya Jokowi adalah tikungan maut bagi incumbent.
“Jokowi bak air tenang yang menghanyutkan dan tiba-tiba menyalip di tikungan dengan kencang melaju di urutan terdepan”
Realitas politik DKI adalah cermin betapa perubahan format dan cara seorang kandidat untuk mencapi suatu kemenangan bertolak dari prestasi, kesederhanaan, kejujuran, dan hasil kerja yang bisa dirasakan semua warganya baik jangka pendek menengah maupun jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H