Kesederhanaan tampilan dan pendekatan Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi), itukah yang menjadi kunci melejitnya memimpin perolehan suara dalam pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta? (Suara Merdeka, 14/07).
Memang benar. Tapi track record selama memimpin Kota Solo yang dimiliki, karakter individu Jokowi yang tidak mencerminkan kesombongan mampu diracik dengan baik oleh tim pemenangan dan mesin politiknya baik lewat Partai Politik PDI-P-Gerindra dan konsultan komunikasi politiknya hingga menghasilkan kemenangan diputaran pertama pada 11 Juli dengan perolehan 1.104.011 suara mengungguli Incumbent Foke-Nara yang hanya meraup 966.032 suara.
Jokowi-Ahok memang menang diputaran pertama. Namun untuk jadi pemenang Pilgub DKI yang sesungguhnya pasangan itu masih harus menghadapi putaran kedua di mana masing-masing kandidiat yang kalah tentu akan berkoalisi dengan segala kemungkinan situasi politik. Bagaimanakah taktis dan strategi tim dan mesin politik Jokowi-Ahok untuk memenangkan kembali diputaran kedua?
Endorsement Jokowi-Ahok yang dikonsulaltani politik oleh kelompoknya Eep Sayaifullah Fatah dan tim peracik media, opini publik, serta manajemen isu oleh kelompok Cirrus menjadi kunci kemenangan bagi Jokowi-Ahok. Kecerdasan mereka dapat dilihat dari lima hasil kinerja yang tersistem dengan cantik.
Pertama; mesin politik yang diperankan oleh partai politik PDI-P dan Gerindra hanya menjalankan konsep politik pemenangan yang dipermak oleh tim kreatif dan tim konsultan politik tersebut. Disparitas pembagian itu akan nampak dalam tataran elit antara Megawati-Prabowo sebagai titik tingkat lobi tertinggi. Perpecahan tim yang dimunculkan lewat media massa semata-mata sebagai taktik melihat permainan lawan.
Kedua; mainsite kampanye yang langsung menyerang titik jantung kebutuhan masyarakat lewat pasar tradisional, slogan “JakartaBaru” yang berarti (JB; Joko Widodo Basuki), kostum kotak-kotak dan komunitas kotak-kotak bergaya keremajaan adalah gambaran hasil style cerdas pilihan mudah bagi rakyat Jakarta yang sesungguhnya butuh peremajaan figure pemimpin yang memiliki branding ala Jokowi.
Ketiga; tim kreatif yang membesut Jokowi-Ahok dalam media massa, intertainment media face to face dengan warga Jakarta, prestasi program dan transparansi anggaran yang pernah berhasil dilakukannya selama menjadi Wali Kota Solo adalah nilai persuasi yang tak bisa ditampik oleh warga Jakarta. Hal itu adalah nilai kongkrit yang sudah djawab dalam diri Jokowi tanpa mengdepankan kesombongan.
Keempat; lahirnya tokoh popular, mampu dijawab langsung dengan elektabilitas tokoh merakyat. Artinya wong cilik pun tanpa melalui pendekatan survey metodis pendekatan kreatifitas tim yang dijalankan oleh mesin politik “kesantunan berprestasi” di beberapa media massa dan ruang publik khususnya jantung kebutuhan masyarakat Jakarta, transposrtasi, pasar, tempat-tempat kumuh dan lain sebagainya langsung jatuh hati pada Jokowi. Inilah yang disebut “kesantunan bertprestasi” dalam menokohkan sosok Jokowi dengan segudang prestasi dan kemampuan yang tak melihat nilai fisik dan keculunan wajah kandidat.
“Kesantunan berprestasi” beda dengan “pencitraan publik.” Berprestasi ala Jokowi lebih mengedepankan isu prestasi dan tidak perlu menyombongkan diri dalam bentuk jargon tertentu. Tak banyak bicara tapi kinerja nyata yang ditonjolkan. Ia lebih percaya pada dirinya sendiri seiring dengan isu yang berkembang tanpa pembelaan dirinya dan cukup dicounter oleh tim pemenangannya.
Kelima; kelincahan dan kelihaian tim, mesin politik Jokowi-Ahok yang menerapkan “taktik strategi kesantunan prestasi” bukan “strategi taktik pencitraan.” Artinya kepastian memilih kandidat menjadi target utama dibandingkan ketertarikan pemilih terhadap kandidat. Ini yang disebut sistem “tembak langsung.” Suka, dipilih, dan dicoblos. Tidak terlalu neko-neko dalam publikasi dan berkampanye, tidak menawarkan program yang muluk-muluk. Cukup bagiamana Jokowi mengerti kebutuhan masyarakat DKI Jakarta secara luas.
Besutan Baru
“Dari desa menuju ke kota adalah gambaran untuk mencerminkan kandidat Jokowi-Ahok. Yang satu dari Solo dan satunya dari Bangka Belitung Timur nun jauh dari Ibu Kota Jakarta.”
Memang benar, praktik Pilkada selama ada tokoh lokal dalam percaturan politik daerah rata-rata dimenangkan olehnya. Tapi Pilkada DKI kali ini beda meskipun dinilai sebagai barometer politik nasional. Bahwa kemenangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama dalam mengungguli calon Petahana Foke-Nara mematahkan tesis Pilkada yang kerap terjadi. Lalu, partai politik incumbent juga bukan lagi sebagai pemain dan pemenang tunggal serta dominan dalam meraup kekuatan suara mayoritas.
Bukan berarti DKI Jakarta beda dengan daerah lain secara politik tetapi kemajuan besutan kratifitas politik yang sesungguhnya menjadi nalar dan ruh kreatif tim sukses dan mesin politik yang dijalankan pasangan Jokowi-ahok melalui jantung-jantung kebutuhan masyarakat Jakarta dengan ketinggian nilai “kesantunan berprestasi” dan “tembak langsung.”
Artinya tim tahu dan paham betul bagaimana meramu kandidat untuk dipilih dengan besutan baru tanpa melihat nilai rasisme, budaya mayoritas, tapi melihat sudut pandang kebutuhan nyata rakyat Jakarta dengan bekal “kesantunan berprestasi”, dan “keterbukaan hati pada wong cilik.” Dan karakter serta gaya itu khas dimiliki oleh Jokowi selama memimpin Kota Solo.
Bagaimana menggalang suara dengan pasti dan tak perlu basa-basi lewat publikasi media massa yang berlebihan. Suara terkantongi dengan pasti lewat besutan baru kejantung warga yang memiliki hak pilih.
Dilema Capres 2014
Beragam wacana Capres 2014 sudah mulai menyesaki ruang publik. Terlebih Abu Rizal Bakrie satu-satunya Calon Presiden 2014 yang sudah mendeklarasikan diri lewat pengusungan partai Golkar. Pun isu tingginya hasil beberapa survey yang menunjukkan keterdipilihan dan kelayakan pada Prabowo Subiyanto.
Boleh jadi mereka tampil untuk maju Capres 2014 tapi jika ada tokoh lain yang sama dengan gaya dan karakter Jokowi lebih dimungkinkan sangat berpeluang dalam percaturan politik pencapresan 2014. Dengan syarat “kesantunan berprestasi.”
Ikhwal itu ditandai oleh isu-isu kandidat selama ini bahwa Capres 2014 adalah wajah-wajah lama yang memiliki syarat kekurangan prestasi dan kesantunan nilai uji. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dinilai bagus dalam pencitraan semasa 2004-2009 pun tak setimpal dengan prestasi kinerjanya ketika dipilih kembali 2009-2014.
Pilitik pencitraan ketika dimulai era SBY 2004-2014 ini mengingatkan format baru Pilkada DKI 2012 yang diperankan oleh Jokowi dengan format baru yaitu “kesantunan prestasi” bukan “pencitraan publik.” Akankah Pilpres nanti merujuk pada format “kesantunan prestasi” ala Jokowi jika Pilkada DKI tetap disebut sebagai barometer politik nasional?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H