(buku wawacan bahasa Sunda karya Muhammad Musa "Panji Wulung" yang digemari banyak orang, bahkan diterjemahkan dalam bahasa Madura baik dalam huruf latin atauun aksara Jawa Sunda. Sumber foto: http://bpad.jogjaprov.go.id )Â
Para penguasa di tatar Sunda sejatinya bukan serangkaian para birokrat yang hanya mengurus ihwal pemerintahan. Sebagai ekspresii hati, mereka pun menjadikan seni dan sastra Sunda sebagai media hiburan dan sarana penyampai pesan kepada bawahan dan rakyat kebanyakan.
Para bupati, panghulu, patih, jaksa, wedana, atau abdi dalem mencintai dan menguasai ibing, penca, tembang, serta seni dan sastra Sunda lainnya. Jiwa berkeseniannya pun sudah terbuka. Selain bertolak dari akar tradisi juga mengadopsi dan mengadaptasi dari luar budaya Sunda.
Selain Islam, sesuai dengan kedekatan letak geografis, maka kebudayaan Jawa amat mempengaruhi perkembangan dan kehidupan seni dan sastra Sunda. Dalam tataran ini, sejatinya modernisme dalam kebudayaan Sunda ti baheula mula sudah hidup dan terus berkembang.
Di antara pemimpin Sunda yang menguasai karya seni, khususnya sastra Sunda, setidaknya ada empat nama yang berada di garda depan. Mereka adalah mantan Bupati Bandung RAA Martanagara, mantan Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriatmaja, mantan Panghulu Besar (Hoofd Panghoeloe) Limbangan RH Muhammad Musa, dan Panghulu Besar Bandung Haji Hasan Mustapa.
Di samping karena alam dan lingkungannya sangat mendukung, juga karena kalangenan dan komitmen mereka dalam mencintai seni tradisi. Bupati RAA Martanagara, misalnya. Saking cintanya kepada seni-budaya Sunda, sebagian ruang pendapa Kabupaten Banduung dikhususkan untuk aktivitas berkesenian dan dinamai 'Bale Kebudayaan Priangan.'
Bahkan, birokrat keturunan Sumedang yang nanjung di Bandung ini pun, oleh sebagian masyarakat Sunda lebih dikenal sebagai seniman Sunda ketimbang negarawan. Padahal, masa pemerintahannya di Kabupaten Bandung lebih dari 25 tahun (1893-1918)..
Menurut pakar sejarah Prof Dr Nina Herlina Lubis, RAA Martanagara lahir di Cipada Wetan (Sumedang) 9 Februari 1845. Jiwa keseniannya mulai berkembang ketika mengenyam pendidikan di Semarang.
Salah satu karya emasnya adalah Wawacan Batara Rama (WBR), sebuah gubahan dari naskah berbahasa Jawa Serat Rama (SR). Menurut ahli filologi Dr Kalsum M Hum naskah SR sendiri hasil gubahan dari cerita Kakawin Ramayana (KR). Jarak waktu dari KR ke SR lebih dari 10 abad.
Adapun SR ke WBR jarak waktu penggubahan dan penciptaannya kurang lebih 2 abad. Otomatis WBR memiliki ciri mandiri di pelbagai segi, di antaranya pengubahan strukrur dan pemaknaan.
Kalsum mendandaskan, wawacan yang memiliki runtuyan pupuh 3027 bait, ini awal penulisanya adalah ketika pengarang diangkat menjadi Bupati Bandung, pengangkatannya tanggal 29 Juni 1893, adapun WBR selesai ditulis 4 Oktober 1897. Naskah yang tergolong pada jenis mite, ini selain mengisahkan lakon Sri Rama juga membahas teosofi tasawuf dan ihwal ilmu pengetahuan dalam napas dan bahasa Sunda.
Selain WBR, karya sastra Martanagara lainnya adalah Wawacan Angling Darma, yang juga berasal dari kesusastraan Jawa. Menurut Nina Herlina Lubis, tulisan Martanagara yang dapat digolongkan ke dalam sastra-sejarah adalah Babad Sumedangdan Babad Raden Adipati Aria Martanagara.
Negarawan lain yang juga sosok seniman adalah Pangeran Aria Suriatmaja, seorang bupati Sumedang anak dari Pangeran Suria Kusumah Dinata (Pangeran Sugih). Pangeran Aria Suriatmaja memerintah kabupaten Sumedang selama 37 tahun (1882-1919). Ketika menunaikan ibadah haji di tanah Mekah, tanggal 1 Juni 1921 beliau wafat dan dimakamkan Ma'alla Makkah, sehingga beliau dikenal sebagai Pangeran Mekah.
Karyanya yang termasyur adalah Ditiung Memeh Hujan (Sedia Payung Sebelum Hujan), sebuah buku tentang perlunya pertanahan pribumi. Menurut Nina, jiwa seninya sangat kentara manakala Pangeran Aria Suriatmaja menyerahterimakan jabatannya kepada adiknya, Tumengguuung Kusumadilaga, ia memberi sambutannya dalam bentuk puisi (Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda, 2000: 51).
Lebih dari bupati, para penguasa Sunda yang cakap memberdayakan pengetahuannya dalam sastra Sunda adalah para panghulu. Pakar bahasa dan sastra Sunda dari Jepang Mikihiro Moriyama berkata, di dalam sistem administrasi kolonial, jabatan panghulu adalah salah satu pangkat tertinggi untuk masyarakat Bumiputra, hampir setara dengann regent atau bupati, patih, jaksa, dan wedana. Salah satu wilayah kerjanya, kata Mamat Sasmmita, adalah masjid agung.
Karena sehari-hari berhubungan dengan keaagamaan maka karya-karyanya amat kental dengan religius Islamnya. Di antara para panghulu diÂ
usantara tersebutlah dua panghulu dari tanah Sunda yang sangat masyur, yaitu Panghulu Limbangan (sekarang wilayah Garut) RH Muhammad Musa dan Panghulu Bandung Haji Hasan Mustapa.
Seperti tuturan Mikihiro Moriyama, berdasar nisan makam RH Muhammad Musa di halaman belakang Masjid Agung Garut, Musa lahir tahun 1822 dan wafat pada 10 agustus 1886. Ia mulai diangkat menjadi Hoofd Panghulu tahun 1864. Jabatan itu disandangnya hingga wafat.
Orang yang sangat mempengaruhi karir Musa dalam bersastra adalah seorang orientalis bernama Karel Frederik Holle (1829-1896). Malah, saking dekatnya keduanya oleh Moriyama disebut dwitunggal. Mereka menjalin persahabatan hampir 30 tahun.
Musa belajar tentang motodologi dan kebudayaan Eropa kepada Holle, maka Holle menggali jati diri ihwal bangsa pribumi kepada Mussa.
Karya-karya Musa yang telah jadi buku di antaranya Wawacan Wulang Krama, Carita Abdurahman jeung Abdurahim,Wawacan Dongeng-dongeng, Wawacan Wulang Murid, Wawacan Lampah Sebar, dan Dongeng-dongeng Pieunteungeun.
Namun, karya terbesarnya adalah Wawacan Panji Wulung (WPW). Menurut Moriyama, WPW ditulis tahun 1862 dan pertama kali diterbitkan oleh Landsdrukkerij taun 1871. Menurut Ajip Rosidi, WPW pernah disalin ke dalam bahasa Jawa oleh Pangeran Adipati Aria Mangkunegara IV, lantas kembali disalin ke dalam bahasa Madura. Dalam bahasa Sunda karya ini beberapa kali mengalami cetak ulang.
Bujangga Sunda yang tidak kalah masyurnya adalah Panghulu Haji Hasan Mustapa (HHM). Karena kebesaran karyanya, tahun 1977 beliau mendapat anugrah Hadiah Seni sebagai 'Sastrawan daerah Sunda' oleh Presiden Republik Indonesia. Ihwal karya-karyanya dapat dibaca dalam Kesusasteraan Sunda Dewasa Ini (1967) dan Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana (1989) keduanya hasil penelitian dan ditulis oleh Ajip Rosidi.
Bila Musa akrab dengan Holle, maka Mustapa berkarib dengan Snouck Hurgronje. Malah, karena kedekatannya, sepak terjangnya (karya-karyanya) sempat dicurigai oleh bangsa pribumi.
Meurut Ajip Rosidi, HHM (1268-1348 H atau 1852-1930) jadi Panghulu di Bandung sejak bulan September 1895 hingga mengajukan pensiun tahun 1918. Karya-karyanya banyak ditulis tahun 1900-1902.
Hasil penelitian Ajip Rosidi buku karya HHM dalam bentuk prosa berjumlah 23 judul, di antaranya Bat Adat-adat Urang Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta dan Martabat Tujuh. Adapun dalam bentuk puisi berjumlah 71 judul, di antaranya Ngagurit Kaburu Burit dan Hariring nu Hudang Gering. Jumlah dangding (puisi dalam bentuk pupuh) yang telah terdokumentasi adalah lebih dari 10 ribu bait/pada. Adapun tema utama karya-karyanya adalah tentang ketuhanan.
Banyak dan bermutunya karya-karya para penguasa Sunda baheula menandaskan mereka haus ilmu dan lapar akan bahan bacaan. Adakah pemimpin Sunda kiwari mau mengikuti dan mempelajari karya dan jejak langkahnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H