Tidak sedikit mahasiswa kabawa ku sakaba-kaba, salah arah dari tujuan awalnya. Yang tadinya hendak menuntut ilmu, malah pelengkung bekas nyalahan. Mereka ngelmu sapi, bersama-sama hanya dalam hal negatif. Fatwanya, tidak gaul jika tidak mengunjungi diskotek, tidak modern jika tidak mabuk, padahal hal macam tersebut berbau kabarat-baratan.
Mereka lali ka purwadaksi. Dari ngelmu sapi lalu jadi ngelmu angklung, joledar-tambelar alias memerkosa kepercayaan orang tuanya. Padahal orang tuanya ngabelaan dug hulu pet nyawa alias banting tulang mencari penghasilan untuk membiayai putranya. Istilah huap hiji ge diduakeun bukan ucapan hampa makna.
Bukankah kasih sayang orang tua mah lir gunung tanpa tutugan sagara tanpa tepi, kasih sayang yang tiada batasnya. Sudah mah kolot kolotok, tuna dari ilmu pengetahuan, ditambah kita yang disekolahkannya menghambur-hambur uang demi hura-hura belaka.
Merasa bangga dengan status mahasiswa, merasa buncir leuit loba duit, meski gindingna ginding kakampis, mereka hanya berharap banjir pujian. Padahal, di rumahnya sangat memprihatinkan, gindingna ginding bangbara. Tindakan seperti itu bakal terjerembab pada paribasa gindi pikir belang bayah.
Sikap mahasiswa seperti itu sangat tidak baik, apalagi bila dibubuhi 'uniko,' sumuhun, 'usaha nipu kolot' tea. Padahal kesalamatan dan kebahagiaan kita bergantung rido orang tua, indung tunggul rahayu, bapa tangkal darajat. Rido Alloh rido anjeunna.
Atuh, yang memang benar-benar belajar hingga selesai, setidaknya telah mendapat gelar sarjana, ilmu jangan didiamkan saja, agar kapipit hasilna kaala buahna amalkan dalam kehidupan, lantas berikan pada masyarakat luas. Tentu, manfaatnya bakal terasa hingga kita sudah rup ka padung, rap ku lemah, katuruban taneuh beureum, maut namanya.
Tapi kita jangan ngelmu ajug, fasih menasihati orang lain, namun kita sendiri melanggarnya, kawas pantun teu jeung kacapi. Karena telah menjadi sarjana merasa diri paling pintar, adigung-adiguna, kakeunaan ku aen, berharap banjir ujian, sikapnya jadi kumaha aing, asa aing uyah kidul. Apalagi jika berani-beraninya menasihati orang yang legok tapak genteng kadek alias yang lebih berpengalaman, sama saja dengan nyiduh ka langit,mapagahan ngojay ka meri.
Padahal uteuk tongo dina tarang batur kanyahoan, gajah depa dina tarang sorangan tan katingalan. Bisa saja orang yang dianggap kita buruk, sejatinya lebih baik dari kita. Jerona sagara bisa diteuleuman, hate jelema najan deet moal kakobet alias palung samudra bisa diselami, namun hati manusia, meski dangkal tak bisa diketahui.
DJASEPUDIN, guru SMA Negeri 1 Cibinong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H