Banyak cara untuk membaca perkembangan masyarakat dan kebudayaan sebuah suku bangsa. Untuk menilik jati diri yang lebih soheh baiknya membaca jejak langkah dan kearifannya. Khusus membaca Sunda salahsatu caranya membaca mantra-mantranya.
Dalam khasanah kebudayaan Sunda mantra termasuk ragam dari puisi. Selain mantra dan sajak, yang termasuk dalam puisi Sunda adalah sawer, sisindiran (paparikan, rarakitan, wawangsalan), wawacan (kumpulan pupuh), kakawihan, dan nadoman atau pupujian.
Masing-masing wanda atau genre puisi tersebut mempunyai ciri mandiri dan saling berkaitan. Khusus dalam ruangan ini saya hendak membaca tentang mantra Sunda.
Oleh para penghayatnya, mantra bisa dijadikan salah satu ritual magis untuk mencapai sesuatu yang dinginkanya. Dengan mapatkeun atau membaca mantra keyakinan penghayat mantra akan kian berlipat. Tentu, untuk mendapatkan tujuannya para pengahayat tak cukup mapatkeun mantra, akan tetapi harus didukung dengan rangkaian ritualnya lainnya, semacam menyan, aneka kekembangan, telur, hanjuang, kalapa duwegan dan aneka 'persembahan' lainnya.
Baca juga: Mantra Asmara Dahana dalam Pernikahan
Karena dianggap mengandung kekuatan gaib maka mantra kerap dibagi dua. Mantra putih (white magic) dann mantra hitam (black magic). Sejatinya, mantra tidak bisa dikotak-kotakkan seperti itu. Mantra mah merdeka. Yang memputihkan dan menghitamkan mantra adalah para penghayat dan apresiatornya.
Sebab, mantra Sunda merupakan hasil para karuhun Sunda untuk memenuhi keperluan dan jadi teman kesehariannya. Seperti pacul, peso pangot, arit, wawacan, atau hasil kamotekaran karuhun Sunda lainnya mantra akan berguna bila dihadapi sebagaimana mestinya, namun mantra akan berbahaya jika salah menggunakannya. Pacul dibikin untuk mencakul sawah, akan tetapi fungsi pacul akan berganti bila pacul digunakan untuk pertengkaran.
Kalumangsungan mantra berkembang secara turun-tumurun. Mantra Sunda bagian dari tradisi kelisanan Sunda. Namun, ada pula mantra Sunda yang terangkum dalam sebuah naskah atau buku kuna. Sayang, naskah Sunda yang memuat mantra tidak banyak. Bahkan, sebagian naskahnya telah hilang karena beberapa alasan; seperti habis dikikis waktu, jadi makanan empuk ngengat atau kutu buku, hangus terbakar, terendam banjir, serta oleh para penjajah dijadikan oleh-oleh.
Adapun yang termasuk dalam kelompok mantra Sunda adalah rajah, singlar, jampe, jangjawokan, ajian, dan asihan. Rajah digunakan masyarakat Sunda untuk keselamatan diri atau barang yang dimilikinya agar tidak terganggu. Rajah pun digunakan untuk ruatan suatu tempat atau membuka lahan untuk permukiman. Hampir sama seperi rajah singlar merupakan mantra untuk mengusir kejahatan atau penyakit buah dari laku siluman-silemin atau untuk menghindari dan mengusir binatang buas.
Mantra Sunda untuk menyembuhkan penyakit, meminimalisir rasa nyeri dan ngilu, membetulkan tulang dan sendi yang didera cedra kerap disebut jampe. Dibandingkan jenis mantra lainnya penggunaan jampe relatif lebih mudah dilaksanakan. Jampe tidak memerlukan syarat ritual khusus layaknya rajah atau singlar.
Ajian adalah mantra yang bertujuan untuk kekuatan diri, kesaktian, atau kerap disebut untuk kadugalan, kawedukan, atau kabedasan. Bila baheula para pemilik ajian umumnya para pendekar atau jawara, kiwari mah para pemain sepak bola pun melengkapi dirinya dengan ajian. Ajian biasanya dipadupadankan dengan rajah. Para pemain bola biasanya mapatkeun ajian sebelum pertandingan dan menyematkan rajah di anggota badan atau sekitar lapangan pertandingan. Tujuan utamanya selain untuk sugesti rasa percaya diri juga untuk menghidari tebasan kaki lawan sangkan tidak cedra.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!