(foto: megapolitan.kompas.com)
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahap II, pada Rabu 15 Februari 2017, dilaksanakan di 101 daerah di Indonesia. Pada hari libur nasional itu bangsa kita memilih bupati, walikota, dan gubernur. Rinciannya pemilihan gubernur berlangsung di Propinsi Aceh, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Papua Barat. Pemilihan Bupati dilaksanakan di 76 kabupaten. Sedangkan Pemilihan Walikota digelar di 18 kota.
Lantas, selama masa sosialisasi pilkada, pendaftaran, verifikasi, penetapan, hingga masa kampanye, masa tenang, dan sesudah hari pemungutan seuara, apa yang sudah disuguhkan tim pasangan calon dan apa yang nyata berasa di lapangan?
Untuk menjawab itu mari kita merenung sejenak. Pilkada hingga hari ini oleh sebagian masyarakat Indonesia hanya disikapi dan dimanfaatkan sebagai sebuah pesta sesaat belaka. Alih-alih menghasilkan pemimpin terbaik, nyatanya menambah permasalahan negara kian banyak dan pelik.
Hingga sekarang, pilkada di seluruh wilayah Indonesia nyaris semuanya bermasalah. Terlebih bagi tim pasangan calon yang belum mendapatkan amanah dari calon rakyatnya. Pun begitu dengan kualitas dan kuantitas penyelenggara Pilkada dari KPPS, PPK, hingga KPUD di berbagai tempat ditemui berbagai kejanggalan yang berujung pada pemungutasn suara ulang. Banten dan DKI Jakarta yang berada di pusat kekuasaan Indonesia pun tak luput dari hal-hal yang mendasar semacam tidak diantisipasinya ketersedian surat suara serta kurangnya pemhamanan para penyelenggara Pilkada.
Â
Ujaran kebencian
Pilkada pun dijadikan media untuk saling menyalahkan. Kita tentu tahu di media sosial begitu besar banjir fitnah dan merasa paling benar. Mereka tanpa malu-malu dan tidak bertanggung jawab menyudutkan dan menyalahkan dengan sangat mudah. Ujaran kebencian selalu dihamburkan 24 jam non-stop. Itulah aksi anyar dalam jurus kampanye hitam. Karena pilkada pula, aksi kekerasan terus mengemuka.
Oleh karena itu, membaca gerak dan perkembangan pilkada yang sudah, sedang, dan akan berlangsung sangat beralasan jika sebagian masyarakat Indonesia memandangnya begitu sinis, pesimis, bahkan cendrung apatis. Celakanya, sikap sinis, apatis dan pesimis masyarakat seperti itu oleh para elite poltik tidak dibaca secara cermat, cepat, cerdik, dan cerdas.
Kekisruhan di Pilkada sejatinya mulai berasa ketika proses pemilihan di internal parpol. Bukan berita anyar adanya mahar dan iming-iming agar jagoannya diusung parpol tertentu. Belum lagi urusan investor yang akan membiayai pesta demokrasi tersebut. Ini, jika calon pemimpin itu kebetulan terpilih, mau tak mau mesti mengganti dengan nilai lebih kepada cukongnya.
Memang, dalam setiap mengambil keputusan adalah suatu hal yang mustahil untuk memuaskan kehendak semuanya. Namun, permasalahan tidak berhenti sampai situ, yang lebih penting adalah menyikapi keputusan tersebut dengan penuh kedewasaan. Sebab, gesekan dan pertentangan yang terjadi dalam tubuh parpol kerap menjalar ke lapisan akar rumput. Nu leutik deui nu jadi korban mah.