AKULTURASI Islam dan Sunda dapat dibaca dalam kehidupan masyarakat dan karya-karyanya. Salah satu unsur masyarakat yang peka tentang keberislaman adalah para sastrawan Sunda ti baheula hingga ayeuna terus meramu ihwal keislaman dan kesundaan dalam satu adonan.
Bagi sebagian orang, momen Lebaran adalah wanci yang dinanti-nanti. Hari untuk pamer materi, atau berbagi rezeki (duit) dengan harapan mendapat puja dan puji. Bukan keikhlasan dan keridaan yang jadi kejaran, namun kebanggaan dicap dermawan yang diharapkan.
Padahal, momen Lebaran, tepatnya Idulfitri adalah salah satu rangkaian dalam menggapai ketakwaan. Untuk meraih ketakwaan yang hakiki, umat Islam mesti melalui gemblengan selama bulan Ramadan. Sayang, latihan kesabaran, keikhlasan, kekhusyukan, dan kesosialan di bulan yang penuh berkah dan magfirah itu waktunya hanya sebulan, tak lebih dari tiga puluh hari.
Umat Islam di tatar Sunda sejatinya berharap keistimewaan Ramadan berlangsung selama mungkin. Sebab, mereka menjadikan Ramadan sebagai tempat yang tepat untuk mengkaji diri, memperbaiki laku amal yang telanjur dilalui. Sebagaimana sajak yang ditulis oleh pesastra Rosyid E. Abby yang berjudul "Langit Ramadan, Dinten Kamari":
langit Ramadan
dinten kamari, ya Robb
asa can cacap
meuseuh diri
(Langit) atau keagungan Ramadan yang berlangsung sebulan sebagai momen meuseuh diri alias menggembleng ihwal fisikal, mental, spiritual, moral, dan intelektual dirasakan penyajak terlalu singkat. Mengapa terlampau sebentar? Sebab asa can cacap (belum tercapai) dalam meraih kemenangan sejati. Bersih diri hingga menjadi suci, seperti bayi yang baru lahir, tanpa dosa, dusta, dan prasangka. Apa penanda yang menyebabkan penyajak dirundung masalah hingga marudah manah? Padahal bulan Ramadan berlalu sudah. Jawabannya ada dalam bait pertama sajak Rosyid yang berjudul "1 Syawal 1425"
geus cacap ramadhan kaliwat
ning sukma marudah knh
aya nu can kaukur ku laku
aya nu can kaudag ku lampah
teu anggeus ku tarawh saban peuting nu wening
teu anggeus ku takbir peuting tadi
Meski selama Ramadan siang dan malam menggelar ritual keagamaan, kegelisahan penyajak dalam mengkaji diri dan membaca amal atau lampah belum total terlaksana. Hal itu karena, dalam bait terakhir (keempat) penyajak mengaku
(ieu jisim abdi, Gusti
Rumaos diri tuna pangarti
Rumaos diri tebih tina ajn diri)
Masih banyak pesastra Sunda lainnya yang mengusung tema Lebaran dalam karya kreatifnya. Dalam kumpulan sajak "Lalaki Langit" (November, 1992) karya Eddy D. Iskandar, misalnya, setidaknya terdapat dua judul sajak yang secara nyata mengangkat seputar Lebaran: "Iedul Fitri" dan "Takbir".
Dalam suasana Idulfitri, diiringi kumandang takbir, tahlil, tahmid, dan tasbih Eddy D. Iskandar menyampaikan kegelisahan (pesan) batinnya melalui sajak "Iedul Fitri":