Tradisi Perang Lodong dan Manfaat Konservasi Bambu
MOMENTUM Ramadan adalah saat yang tepat bagi para warga untuk saling berinteraksi lebih erat dan intim, baik warga sekampung maupun antarkampung. Pergaulan antarwarga itu salah satunya diwujudkan dalam perang lodong.
Tradisi perang lodong hampir semua palemburan di Tatar Sunda mengalami dan terus melakukannya, baik di perbatasan utara hingga selatan Jawa Barat.
Warga Tanjungsari Sumedang, penduduk Garut, masyarakat Sukaraja Sukabumi, remaja di Kawali Ciamis, warga Salopa Tasikmalaya dan di pedalaman Tatar Sunda sangat femilier dengan tradisi perang lodong. Mereka bermain tembak-tembakan, lebih tepat paharus-harus sora alias berlomba membunyikan dentuman suara yang paling nyaring dilakukan di tengah sawah atau kebun. Perang lodong tentu lebih semarak ketika tiba bulan Puasa.
Inilah permainan yang membutuhkan keberanian lebih dan kreativitas yang menantang. Sebab, perang lodong bukan perang biasa. Perang ini dilakukan antarpenduduk kampung. Biasanya, jika lodong dari satu kampung bersuara mej atau suaranya tidak kencang, maka alamat pemilik lodong itu menanggung malu. Sebab, mereka akan mendapatkan cibiran dari pihak "lawan"-nya.
Meski begitu, perang lodong bukan perang sesungguhnya. Ini hanya peperangan alias main perang-perangan. Seusai perang lodong, antarpemuda atau anak kampung tidak saling bermusuhan. Mereka malah saling berangkulan. Saling bertanya bagaimana membuat lodong yang bersuara nyaring dan mengentakkan seisi kampung.
Dalam permainan perang-perangan bedil bodong, biasanya terbagi beberapa kelompok. Perang ini bisa dilajukan dalam rangka ngabuburit atau setelah menjalankan salat Taraw
Disadari atau tidak, denganadanya perang lodong warga dituntut untuk tetap bersahabat dengan alam. Sebab, jika sumber utama pembuatan lodong hilang, ya tradisi itu pun akan makin menjauh.
Tentu bahan utama lodong adalah awi atau bambu. Terkait dengan bambu, bagaimanapun juga ini adalah satu jenis flora yang sangat akrab dengan kehidupan urang Sunda.
Sejak lahir hingga meninggal dunia, urang Sunda kerap bergantung dengan bambu. Ketika memutuskan tali ari-ari, ma beurang (dukun beranak) memotongnya menggunakan sembilu. Lalu ketika meninggal dunia pun kita membutuhkan bambu. Paling tidak untuk padung. Ya bilahan bambu yang menutupi jasad manusia sebelum dikubur oleh tanah. Dari situ, muncullah peribahasa rup ku padung rap ku lemah.
Tentu saja manfaat bambu juga sangat banyak. Dari mulai rebung, bilah bambu, dan daun bambu sangat akrab dnegan kehidupan urang Sunda. Dari mulai peralatan rumah tangga, atap rumah, palupuh, tangga, dan atau pagar rumah merupakan contoh manfaat dari bambu.