Agama selalu menjadi bagian penting dari kehidupan manusia, memberikan pedoman moral dan spiritual yang melampaui batas ruang dan waktu. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa agama juga bisa disalahgunakan, terutama ketika dijadikan alat politik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Politisasi agama seperti ini tidak hanya merusak esensi agama itu sendiri, tetapi juga menciptakan ancaman besar bagi keadilan, kebebasan, dan perdamaian.
Ketika agama dipolitisasi, nilainya yang seharusnya membawa kedamaian sering kali berubah menjadi alat pembenaran tindakan otoriter. Pemimpin yang memanfaatkan agama biasanya menggunakan simbol dan retorika keagamaan untuk memperkuat legitimasi mereka. Sayangnya, ini sering dilakukan tanpa mempertimbangkan apakah tindakan mereka sesuai dengan ajaran agama itu sendiri. Bahkan, tidak jarang tindakan seperti diskriminasi, represi, hingga kekerasan dilegalkan atas nama agama. Dengan cara ini, agama menjadi tameng bagi mereka yang ingin berkuasa, sementara masyarakat dibiarkan menerima manipulasi sebagai kebenaran.
Contoh politisasi agama bisa ditemukan dalam berbagai tradisi, baik Islam maupun Kristen. Dalam sejarah Islam, ada pemimpin yang memanfaatkan ayat-ayat suci untuk menguatkan cengkeraman politik mereka. Hal serupa juga terjadi dalam sejarah Kristen, ketika gereja dan negara saling berkolaborasi demi melanggengkan kekuasaan. Dalam kedua kasus ini, agama yang seharusnya menjadi panduan moral berubah menjadi senjata untuk mendominasi dan menekan pihak lain.
Politisasi agama tidak hanya memunculkan rezim otoriter, tetapi juga menjadi pemicu radikalisme dan ekstremisme. Narasi agama yang dipolitisasi sering kali bersifat eksklusif, menyingkirkan toleransi, dan mendorong masyarakat untuk melihat dunia dalam kerangka hitam-putih. Pola pikir seperti ini sangat rentan dimanfaatkan oleh kelompok ekstremis yang ingin menyebarkan kebencian dan kekerasan. Akibatnya, masyarakat tidak hanya terpecah belah, tetapi juga terjebak dalam lingkaran konflik yang sulit diakhiri.
Di sinilah moderasi beragama menjadi kunci penting. Moderasi beragama bukan berarti melemahkan keyakinan atau mengurangi komitmen terhadap ajaran agama. Sebaliknya, moderasi adalah upaya untuk mengembalikan agama ke esensi dasarnya sebagai sumber kedamaian, kasih sayang, dan penghormatan terhadap sesama. Moderasi mengajarkan bahwa perbedaan adalah bagian dari kehidupan yang harus dihormati, bukan dianggap sebagai ancaman.
Melalui pendekatan moderasi, masyarakat diajak untuk melihat agama sebagai panduan moral yang membangun, bukan alat politik yang memecah belah. Pendekatan ini juga sangat efektif dalam melawan radikalisme, karena radikalisme sering kali tumbuh dari pemahaman agama yang dangkal dan manipulatif. Dengan menumbuhkan kesadaran bahwa nilai-nilai universal seperti keadilan dan kasih sayang adalah inti dari setiap agama, moderasi membantu menciptakan ruang dialog dan harmoni di tengah keberagaman.
Dalam dunia yang semakin plural seperti sekarang, tantangan kita adalah membangun masyarakat yang bisa hidup rukun tanpa harus mengorbankan identitas keagamaan masing-masing. Dengan menolak politisasi agama dan mempromosikan moderasi, kita tidak hanya mencegah radikalisme tetapi juga memperkuat solidaritas dan menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.
Pada akhirnya, agama seharusnya menjadi cahaya yang menerangi jalan, bukan alat untuk mendominasi atau memecah belah. Dengan meneguhkan moderasi dan menjaga agama dari politisasi, kita bisa menciptakan dunia yang lebih damai, adil, dan penuh kasih sayang. Agama yang sejati adalah agama yang membawa kedamaian untuk semua, bukan hanya untuk segelintir orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H