Tulisan ini seharusnya naik minggu lalu, tapi berhubung suasana lebaran baru bisa menulis sekarang, sekalian mohon maaf lahir bathin buat para penulis dan pembaca P semuanya. Kembali ke laptop, di tengah suasana lebaran yang meriah setiap tahunnya, selalu saja ada tragedi yang menyertainya. Dan salah satu tragedi paling mengenaskan adalah hattrick bus Sumber Kencono yang berhasil mengandaskan tiga sepeda motor dan menewaskan enam orang sekaligus dalam tiga hari. Kejadian ini seharusnya menjadi peringatan buat kita, betapa disiplin berlalu lintas masih sangat rendah. Selama Lebaran tahun 2010 saja 328 korban tewas, luka berat sebanyak 438 orang, luka ringan sebanyak 892 orang dan kerugian material akbat kecelakaan lalu lintas sebesar Rp6,349 miliar (sumber disini). Walaupun relatif terjadi penurunan dari tahun lalu, namun tetap saja angkanya masih di kisaran ratusan jiwa, layaknya perang tujuh hari tujuh malam. Banyak faktor yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas, mulai dari pengendara yang mengantuk, jalanan yang rusak, rambu-rambu tidak lengkap, kondisi kendaraan tidak prima, dan sebagainya. Namun untuk kasus angkutan umum, di samping kondisi kendaraan dan pengemudi yang kurang prima, juga kebijakan pemerintah, dalam hal ini Dinas Perhubungan dan pengelola bus yang kurang membatasi jumlah bus beredar di jalan. Penulis pernah menemukan bus SK dengan jurusan sama tidak lebih dari 5 menit bertemu, jadi jarak antar bis tidak sampai 5 menit harus keluar dari terminal. Sementara penumpang di jalan tidak selamanya penuh kecuali jam-jam tertentu saja, sehingga para sopir bersaing di jalanan layaknya balapan F1 untuk memerebutkan penumpang. Belum lagi persaingan dengan bus lokal seperti Suharno yang juga mengangkut penumpang pada jalur yang sama (terutama Jogja - Solo). Kebijakan pemerintah yang kurang membatasi angkutan umum inilah sebenarnya salah satu sumber kecelakaan dan kemacetan di jalan raya. Coba tengok jalan raya Ciledug, hampir sepertiga jalan penuh dengan angkutan berbagai moda, dengan isi penumpang tak lebih dari separuhnya, bahkan kosong melompong dibiarkan jalan. Di samping volume kendaraan semakin padat, coba dihitung berapa pemborosan BBM bersubsidi akibat banyaknya angkutan umum berkeliaran di jalan dengan sedikit atau tanpa penumpang. Belum lagi persaingan antar moda sejenis seperti travel dan bus pada jurusan sama (seperti Jakarta - Bandung), dengan motto satu orang berangkat, apakah tidak semakin menghabiskan BBM subsidi. Sudah saatnya pemerintah terutama aparat di terminal dan jalan membatasi kendaraan yang jalan, minimal tunggu hingga setengah atau sepertiga penuh baru berangkat. Hal ini akan mengurangi penggunaan BBM bersubsidi, juga mengurangi tingkat kecelakaan akibat kejar setoran di jalan raya, daripada memaksakan diri mengurangi kendaraan pribadi tanpa solusi yang jelas, misalnya dengan memerbaiki kondisi angkutan umum. NB. Tulisan ini dapat dibaca juga di politikana.com sumber gambar: http://surabaya.detik.com/readfoto/2009/06/26/113513/1154471/473/4/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H