Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sudahkah Kita Bebas Korupsi?

9 Desember 2009   07:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:00 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sadarkah bahwa dari sejak kecil kita dibiasakan untuk korupsi?

Artikel ini mencoba menggugah kesadaran kita bahwa memberantas korupsi itu memang bukan hal yang mudah. Cobalah tengok ke belakang ketika kita masih sekolah. Demi mengejar nilai tinggi, kita berbuat apa saja termasuk menyontek atau bahkan sekarang guru-guru ikut memberikan bocoran jawaban. Bukan menyonteknya semata yang salah, tapi budaya dan sistem nilai ikut memengaruhinya. Budaya kita tidak terbiasa dengan kompetisi, sehingga bila ada kompetisi pasti ada perkelahian, dan diduga ada kecurangan, seperti di Liga Indonesia. Sistem nilai juga ikut memengaruhi, dengan patokan dasar nilai atau angka, semua orang berlomba-lomba meraih angka tertinggi. Kecerdasan diukur dengan angka semata, bukan dengan kerja keras dan kemampuan anak didik. Sistem penilaian menjadi sangat kejam dan tidak memedulikan kondisi siswa saat itu.

Pada saat berorganisasi, tentunya kita pernah membuat proposal kegiatan. Dalam proposal itu biasanya sudah terjadi mark-up harga, dengan harapan kalau diberi setengahnya cukup. Si penerima proposal juga mahfum, harga pasti di mark-up, jadi menyumbangnya juga setengah dari nilai tersebut. Dari sini sudah jelas bahwa budaya mark-up sudah dipupuk sejak dini. Kita juga sering meminta sumbangan kepada pejabat, yang jelas-jelas gajinya terbatas, belum lagi yang meminta sumbangan juga bukan cuma kita sendiri. Hal ini menyuburkan keinginan untuk berbuat korup, karena tidak mungkin gajinya yang pas-pasan cukup buat menyumbang, apalagi kalau kekecilan nanti dibilang pelit.

Setelah lulus kita kemudian bekerja atau membuka usaha. Mungkin gaji yang kita makan halal, tapi coba telusuri bagaimana perusahaan itu didirikan, atau mencari pekerjaan, atau menjual produk. Apalagi bila berurusan dengan oknum aparatur pemerintah, sudah pasti ada uang yang keluar di luar tarif resmi. Begitu pula lobi-lobi dan deal-deal tertentu yang memerlukan pelicin, demi menghidupi para karyawan dan rekanan. Bagi yang membuka usaha legalpun, pasti akan berhadapan dengan birokrasi, sementara yang tidak mengurus izin dianggap ilegal dan selalu menjadi sasaran empuk penggusuran.

Menjadi tidak mudah untuk memberantas korupsi, karena adanya invisible hand yang mengatur semua itu, terutama di sini. Birokratpun tidak semuanya berniat semata-mata memperkaya diri, tetapi juga karena keterpaksaan kondisi yang memang sudah tercipta sejak lama. Di sini faktor budaya berpengaruh besar terhadap tumbuh suburnya korupsi. Budaya anti kompetisi, saling curiga, saling mendahului, merupakan ladang yang paling cepat berkembang biak untuk korupsi. Tulisan ini hanya sekedar mengingatkan bahwa budaya itu masih ada dan nyata, tidak mudah menghapusnya begitu saja. Silakan menambahkan ide-ide lain di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun