Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Separuh Nafas Terhempas Ombak di Sebatik

30 Maret 2016   21:14 Diperbarui: 31 Maret 2016   01:56 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Tugu Perbatasan Garuda Perkasa (Dokpri)"][/caption]Sudah banyak informasi mengenai Sebatik baik di internet maupun media massa, termasuk kunjungan Pak Jokowi setahun lalu. Namun saya masih penasaran ingin melihat seperti apa sih rumah yang memiliki dua kewarganegaraan, ruang tamu di Indonesia, sementara dapurnya berada di Malaysia. Sebatik sendiri merupakan sebuah pulau kecil di sebelah timur Nunukan namun dibagi dua antara Indonesia dengan Malaysia, mengikuti garis lintang 4.1 derajat lintang utara. Kota terbesarnya adalah Sungai Nyamuk yang berada di ujung timur pulau, namun karena jauh saya memilih lewat Bambangan yang berada di sebelah barat dan lebih dekat dari Nunukan.

[caption caption="Pelabuhan Sei Bolong Nunukan (Dokpri)"]

[/caption]Saya berangkat dari Pelabuhan Speed Sei Bolong yang terletak sebelah pelabuhan ferry Liem Hie Djung. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan rakyat yang berada di tengah perkampungan nelayan, dan melayani rute Nunukan - Bambangan (Sebatik), Semenggaris, Sebuku, dan pulau-pulau kecil sekitar Nunukan. Tidak ada jadwal pasti karena perahu speed akan berangkat ketika penumpang penuh atau minimal mengangkut 5-6 orang dengan tarif 25 Ribu per orang plus pas pelabuhan Rp. 3000. Kalau mau cepat bisa saja dengan menyewa satu perahu seharga 150 Ribu. Perahunya sendiri berukuran kecil, maksimal 6-8 orang saja dan mudah terombang ambing ombak.

[caption caption="Pengemudi Mendorong Perahu ke Tepian (Dokpri)"]

[/caption]Beruntung ketika saya dan seorang teman tiba di pelabuhan, perahu akan segera berangkat dan menunggu dua orang lagi. Speed segera melaju begitu kami menaiki kapal. Di tengah jalan, angin mulai kencang, ombak mengangkat perahu kemudian menghempaskan begitu saja. Untung pengemudinya lihai dan tampak sudah hafal jalur sehingga perahu menari-nari di tengah deburan ombak dan angin laut. Malangnya, saat hampir tiba di pelabuhan Bambangan, perahu tiba-tiba mati. Beberapa kali pengemudi perahu berusaha untuk menyalakan mesin, nyala sebentar, kemudian kembali mati. Drum minyak diguncang-guncang, ternyata kosong melompong alias habis!

[caption caption="Tanda Pos Pengamanan Perbatasan (Dokpri)"]

[/caption]Pengemudi berusaha minta tolong kepada perahu lain yang melintas, namun semuanya mengabaikan. Rupanya individualisme sudah menjalar pula di kalangan pelaut. Pengemudi berusaha mengarahkan perahu ke tepi laut dengan bantuan ombak dan angin yang kebetulan mengarah ke tepian Sebatik. Kami di atas kapal hanya bisa menghela nafas, mungkin tinggal separuh nafas kami menahan ketakutan terhempas gelombang di tengah laut. Kebetulan ada persemaian rumput laut sehingga kapal bisa mengikuti tambang yang mengikat rumput laut. Setelah dekat dengan tepi pantai, pengemudi mendorong kapal dibantu seorang penumpang hingga sampai ke bibir pasir di samping dok.

[caption caption="Kondisi Jalan Mulus Walau Melintasi Perbukitan (Dokpri)"]

[/caption]Keteganganpun berakhir dan kami langsung naik ke atas mencari mobil sewaan menuju Aji Kuning, tempat dimana rumah tersebut berada. Setelah sepakat harga, supir segera meminta kami naik dan menghalau penumpang lain yang mencoba untuk nebeng. Dia hanya tertawa melihat kami terombang ambing di tengah laut karena kehabisan minyak. Memang si pengemudi perahu tersebut selalu membawa minyak pas-pasan, dan selalu kehabisan menjelang tiba, sehingga orang lain lama kelamaan malas membantunya. Hmmm, pantesan tidak ada satupun perahu yang mau menolong, gumamku.

[caption caption="Patok Batas 3 di Bawah Bendera Merah Putih (Dokpri)"]

[/caption]

[caption caption="Penampakan Rumah di Tapal Batas (Dokpri)"]

[/caption]Semenjak kedatangan Pak Jokowi, jalanan lintas Sebatik relatif mulus kondisinya, hanya di beberapa tempat saja rusak akibat longsor. Namun baru beberapa menit berjalan, kita harus membuka jendela untuk memberi salam kepada prajurit penjaga perbatasan yang berada di pos pantau. Paling tidak ada sekitar tiga pos dekat pelabuhan, lalu di tengah ada satu pos, baru kemudian di wilayah Aji Kuning berdasarkan pantauan saya. Pos-pos tersebut dibangun untuk mengantisipasi penyelundupan barang maupun TKI ilegal yang masuk melalui darat dari Pulau Sebatik.

[caption caption="Sebelah Kiri Malaysia, Sebelah Kanan Indonesia (Dokpri)"]

[/caption]Sekitar satu jam kami tiba di Desa Aji Kuning dimana terdapat rumah yang berada di tengah-tengah garis maya batas negara. Disinilah terletak patok 3 dari 16 patok yang ada di Pulau Sebatik sebagai penanda batas wilayah Indonesia dengan Malaysia. Kalau dilihat dari patok, maka sebenarnya hampir seluruh rumah tersebut masuk ke dalam wilayah Malaysia. Tapi seorang petugas disitu berkata bahwa ada yang namanya zona netral selebar 50 meter, jadi anggap saja berada di wilayah netral alias tidak punya kewarganegaraan. Di belakang rumah tersebut terdapat parit kecil yang dilintasi oleh perahu menuju Tawau. Jadi sebenarnya parit tersebut bisa menjadi batas yang sebenarnya.

[caption caption="Kedai Makan di Belakang Patok Batas (Dokpri)"]

[/caption]Kami bersantai di sebuah warung yang terletak tepat di belakang pos jaga patok 3 sambil ngobrol ngalor ngidul dengan tentara yang sedang berjaga. Kebetulan mereka berasal dari sebuah batalyon dari Malang, dan setiap 9 bulan digilir dengan batalyon lainnya di Indonesia. Dia sendiri sudah hampir 9 bulan bertugas dan minggu depan akan kembali ke Malang. Sebelumnya dia pernah bertugas di perbatasan Papua, dan menurutnya lebih enak disini karena di Papua rawan malaria sekaligus malarindu dan sulit memperoleh barang murah. Di sini banyak barang asal Malaysia yang kualitasnya lebih baik dan harganya lebih murah, termasuk kopi yang kami minum. Kondisi keamanan juga lebih kondusif dibanding Papua, paling cuma masalah pelintas batas saja serta barang-barang ilegal yang perlu diwaspadai termasuk peredaran narkoba yang masih marak.

[caption caption="Parit yang Menjadi Batas Alam (Dokpri)"]

[/caption]Agak sedikit aneh pemandangan di sini karena tak tampak tanda-tanda apapun dari arah Malaysia, apakah itu bendera atau patok, apalagi tentaranya. Kata prajurit tadi, sebenarnya ada juga pos Malaysia di seberang sana, tapi tidak tampak mencolok dan tidak terlalu dekat dengan perbatasan. Malah yang tampak mendominasi adalah perkebunan rakyat atau perusahaan tertentu. Warga disini juga masih setia dengan Merah Putih walau sebagian tanahnya dianggap masuk wilayah Malaysia. Sebagian besar berasal dari suku Bugis, walaupun sebenarnya banyak juga suku lain terutama dari wilayah Indonesia Timur. Tak terasa ngobrol setengah jam, kami pamit untuk kembali ke Nunukan karena waktu sudah semakin sore. 

[caption caption="Penampakan Kota Tawau di Seberang Laut (Dokpri)"]

[/caption]Sebelum ke Nunukan, kami sempatkan dulu mampir di tugu NKRI Harga Mati yang terletak tak jauh dari situ. Kemudian saat kembali ke Bambangan, di tengah jalan kami berhenti sejenak untuk memotret kota Tawau di Malaysia dari kejauhan. Nampak jelas bangunan-bangunan tinggi di seberang laut menandakan halaman muka negeri tetangga, sementara kita hanya bisa memunggunginya saja. Semoga di masa depan kita mampu membangun halaman muka seperti mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun