Seorang teman berkisah, ternyata mempersiapkan pernikahan itu gampang alias tak sesulit dibayangkan orang. Gedung pernikahan bertebaran di mana-mana, tinggal kantongnya siap atau tidak. Kalaupun tidak ada uang di kantong, di rumahpun bisa dilakukan. Katering juga sekarang bersaing, tinggal melihat kualitas makanannya saja. Bila dana terbataspun masih bisa masak sendiri dengan bantuan saudara-saudara dan tetangga. Properti seperti panggung dan kembangpun juga tidak sesulit dulu lagi mencarinya, cukup googling ketemu sudah. Bahkan organ tunggalpun juga mudah didatangkan, atau kalau tidak punya uang cukup lipsync dari CD saja. Lalu apalagi yang perlu disiapkan?
Ternyata yang sulit adalah mencari pasangan nikah alias jodohnya. Teman ini sudah hampir memasuki usia puber kedua, namun belum menikah juga. Dia mulai bercerita, menemukan orang yang cocok chemistry-nya untuk menempuh hidup bersama tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sudah lama pacaran, sekitar lima tahun, eh putus juga karena hal kecil. Ketemu lagi teman sekantornya yang relatif sebaya, ujung-ujungnya sering bertengkar karena tidak ada yang mau kalah. Putus lagi, berjumpa lagi dengan gadis kuliahan, inginnya diperhatikan terus. Sekali tidak telpon, ngambeknya bisa sebulan. Cape deh hati ini kalau dipelihara terus.
Suatu saat, dia bertemu dengan seorang janda cantik dengan beda umur tidak terlalu jauh. Sepertinya sudah cocok chemistry-nya, namun ketika dikenalkan pada orangtuanya, semua berubah total. Sang orang tua trauma pada perceraian anaknya dua tahun lalu, dan masih belum bisa menerima kehadiran orang baru dalam keluarga mereka, karena bekas mantunya itu sering keluar malam tidak jelas dan sempat meninggalkan anaknya lebih dari tiga bulan alias jadi Bang Toyib. Apalagi pekerjaan temanku ini seorang surveyor alias tukang jalan-jalan yang sering pergi ke luar kota.
Terakhir, teman ini bertemu seorang gadis (lagi) ketika sedang survey di wilayah timur Indonesia. Walaupun jarak memisahkan, hubungan mereka tetap mesra bahkan sudah serius merencanakan pernikahan. Namun lagi-lagi hubungan mentok karena perbedaan keyakinan. Orang tua sang wanita meminta teman untuk beralih keyakinan, sementara orang tua teman ini seorang ulama terkenal di kampungnya. Tadinya dia berharap sang wanita bersedia menjadi muallaf, dan itu akan menambah pahala seperti diajarkan orang tuanya. Sang calon mempelai wanitapun sudah setuju sebenarnya, tapi ancaman dari orang tua untuk mengeluarkan anak tersebut dari keluarga membuat ciut nyalinya. Setelah kejadian itu, teman ini menjadi steril dan tidak lagi memikirkan pernikahan. Baginya pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang siap lahir batin dan saling pengertian di antara mereka.
Seperti kata orang-orang yang sudah menikah, menikah itu kuncinya adalah saling pengertian, saling percaya, dan saling menjaga satu sama lain. Salah satu dari tiga kunci itu hilang, siap-siaplah menghadapi perceraian di depan mata. Ingat, pernikahan adalah sebuah komitmen yang dibangun oleh dua orang berbeda jenis, untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga sakinah mawaddah wa rohmah. Menikah bukan hanya sekedar cinta atau nafsu, tapi sebuah tanggung jawab untuk membesarkan sebuah keluarga kecil menjadi sebuah bangsa yang besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H